Oleh: Muchamad Ali safa’at

Salah satu perkembangan hukum yang marak akhir-akhir ini adalah pembentukan Perpu, baik sudah dilaksanakan maupun baru berupa gagasan. Perpu tersebut antara lain adalah Perpu Perpanjangan Sunset Policy Pajak dan Perpu mengenai Tata Cara Pencontrengan dalam Pemillu mendatang. Perpu tersebut diterbitkan untuk menggantikan ketentuan dalam Undang-undang yang belum lama dibuat, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Perpu merupakan bentuk hukum yang bersifat khusus karena wewenang pembentukannya diberikan hanya kepada Presiden, dibandingkan wewenang legislasi utama dalam UUD 1945 yang diberikan kepada DPR dan Presiden bersama-sama. Sifat khusus tersebut dapat dilihat dari bentuk hukum, yaitu Peraturan Pemerintah tetapi berkedudukan sejajar dengan UU yang dalam keadaan normal seharusnya berada di bawah UU. Kedudukan Perpu yang sejajar dengan UU merupakan konsekuensi dari keberadaan Perpu untuk menggantikan ketentuan UU.
Sebagai bentuk hukum yang khusus, tentu Perpu tidak dapat dibuat dalam keadaan normal. Dengan kata lain, Perpu hanya dapat dibuat jika ada kondisi yang luar biasa. UUD 1945 merumuskan kondisi yang membenarkan dibuatnya Perpu adalah hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga ketentuan dalam suatu UU tidak dapat dijalankan dan harus diganti. Walaupun telah diberlakukan, Perpu tersebut nantinya harus mendapat persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya.
Apakah yang dimaksud dengan hal ihwal kegentingan memaksa? Mengingat ketentuan ini merupakan ketentuan yang tidak mengalami perubahan pada saat terjadi Perubahan UUD 1945, maka sebagai bahan untuk memahami frasa tersebut dapat dilihat Penjelasan Pasal 22 UUD 1945. Penjelasan tersebut menyatakan “Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kegentingan yang memaksa adalah “keadaan genting” yang terkait dengan tugas pemerintah menjamin “keselamatan negara”. Oleh karena itu Perpu hanya dapat dikeluarkan pada saat keselamatan negara terancam. Ancaman dapat datang baik dari dalam maupun dari luar. Ancaman tersebut juga dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penyerangan dari luar, pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, serta peristiwa lain yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga tidak dapat menjamin keselamatan negara.
Selain itu patut pula diingat bahwa penggantian ketentuan dalam UU melalui Perpu adalah karena ketentuan dalam UU dimaksud tidak dapat dijalankan karena dua kemungkinan alasan. Pertama, jika ketentuan tersebut dijalankan, justru keselamatan negara pada saat itu akan terancam. Kedua, ketentuan dimaksud tidak cukup memberikan landasan hukum kepada pemerintah untuk menjamin keselamatan negara. Perpu tidak dapat dikeluarkan hanya karena pemerintah tidak berhasil menjalankan ketentuan UU yang sesungguhnya telah cukup baik dan dapat menjamin keselamatan negara.
***
Unsur kegentingan memaksa dapat dilihat pada dikeluarkannya Perpu tentang tata cara pencontrengan untuk Pemilu 2009. Ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2008 menentukan bahwa pencontrengan dilakukan sekali pada kertas suara, padahal pada kertas suara terdapat gambar partai dan nama calon legislatif. Terdapat kemungkinan pemilih mencontreng gambar partai dan salah satu caleg dalam partai tersebut, atau dua kali mencontreng pada nomor dan naman calon yang sama. Hal itu sangat mungkin karena cara pencontrengan merupakan hal baru pada Pemilu di Indonesia.
Jika ketentuan sekali mencontreng tidak diubah, terdapat dua dampak yang membahayakan. Pertama, suara pemilih akan hilang karena dianggap tidak sah, yang hal itu menentukan terpilih tidaknya seorang calon. Seorang pemilih yang mencontreng Partai A dan untuk calegnya adalah nomor X akan kehilangan suaranya, padahal sangat jelas bahwa itulah kehendak pemilih tersebut. Demikian pula pada saat pemilih mencontreng dua kali pada satu kolom caleg yang jelas menunjukkan bahwa kehendak pemilih adalah pada caleg tersebut.
Hal itu akan mengakibatkan hasil Pemilu tidak dapat merepresentasikan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Calon yang terpilih dan partai pemenang Pemilu belum tentu merupakan calon dan partai yang benar-benar dikehendaki rakyat, melainkan karena banyak pilihan rakyat yang dianggap tidak sah. Dampak selanjutnya adalah banyaknya suara yang tidak sah sehingga akan menurunkan legitimasi wakil rakyat dan hal ini mempengaruhi produk yang dihasilkan dan pemerintahan yang akan dijalankan. Pada titik ini keselamatan negara demokrasi terancam karena wakil rakyat dan pemerintahan tidak benar-benar terbentuk dan berjalan berdasarkan kehendak rakyat.
***
Apakah unsur “kegentingan memaksa” dapat dilihat pada Perpu mengenai perpanjangan sunset policy? Perpu tersebut dibuat untuk mengganti ketentuan Pasal 37A UU KUP yang membatasi kebijakan pengurangan atau penghapusan bunga bagi wajib pajak yang menyampaikan pembetulan SPT serta kebijakan penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak orang pribadi yang secara suka rela mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP masing-masing selama 1 tahun setelah UU tersebut berlaku. Perpu perpanjangan sunset policy diperuntukkan bagi wajib pajak yang telah memiliki NPWP sebelum 2008 yang akan melakukan pembetulan SPT dan masa pembayaran pajak.
Alasan penerbitan Perpu tersebut menurut Dirjen Pajak, Darmin Nasution, adalah besarnya antusiasme masyarakat dalam memanfaatkan kebijakan sunset policy yang mengakibatkan Dirjen pajak kewalahan memberikan pelayanan (Bisnis Indonesia Online, 31/12/2008). Alasan tersebut jelas menunjukkan bahwa tidak ada persoalan pada ketentuan Pasal 37A UU KUP. Persoalannya adalah pada kapasitas dan pelayanan yang diberikan oleh Dirjen Pajak, serta budaya masyarakat yang melakukan pembetulan SPT serta pembayaran menjelang ambang batas waktu yang diberikan.
UU KUP telah memberikan waktu selama 1 tahun kepada wajib pajak untuk melakukan pembetulan dan pembayaran pajak. Pemberian waktu kepada wajib pajak tersebut tentu menjadi tugas pemerintah, khususnya Dirjen Pajak, untuk membuat mekanisme dan standar pelayanan mengantisipasi antusiasme masyarakat. Jika pada akhirnya kewalahan, hal itu adalah tanggung jawab pelaksana UU, bukan karena norma itu sendiri. Oleh karena itu alasan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai “kegentingan memaksa”.
Di sisi lain ada atau tidak kebijakan sunset policy, membayar pajak adalah kewajiban warga negara. Apabila telah diberikan kebijakan sunset policy wajib pajak tetap tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak, maka sudah seharusnya dikenakan sanksi. Adalah kewajiban negara, dalam hal ini Dirjen Pajak, untuk melaksanakan ketentuan tersebut, termasuk mengenakan sanksi. Pajak tersebut dan bunga sebagai sanksi tetap harus dipungut.
Dirjen Pajak telah berhasil meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak, antara lain melalui kebijakan sunset policy. Apabila kebijakan tersebut tidak diperpanjang, wajib pajak tetap harus membayar pajaknya disertai dengan sanksi bunga. Adalah kewajiban aparatur pajak untuk memungutnya. Dengan demikian, apabila kebijakan tersebut tidak diperpanjang, tidak ada aspek keselamatan negara yang terancam dan pemerintah tetap dapat menjalankan tugasnya menjamin keselamatan itu. Tidak adalah alasan kegentingan yang memaksa dalam penerbitan Perpu perpanjangan sunset policy itu.
***
Hukum dibuat untuk dipatuhi. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, aturan hukum merupakan dasar dan pedoman bagi pemerintah untuk menjalankan tugas-tugasnya. Hukum tidak boleh hanya dijadikan sebagai pembenar apa yang dilakukan dan dikehendaki pemerintah. Jika hukum diposisikan sebagai alat pembenar, maka itu adalah awal kesewenang-wenangan.
Perpu sebagai produk hukum yang hanya dibuat oleh pemerintah sendiri memiliki potensi digunakan sebagai legitimasi, seperti kecenderungan penggunaan Keppres pada masa Soeharto. Sudah saatnya aturan hukum dipatuhi dan dengan seoptimal mungkin dilaksanakan, bukan disimpangi dan dilanggar, lalu membuat aturan hukum sebagai legitimasi pelanggaran atau ketidakberhasilan pelaksanaannya. (***)

KEKUATAN MENGIKAT DAN PELAKSANAAN PUTUSAN MK

Oleh: Muchamad Ali Safa’at


Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibentuk sejak tahun 2003 telah mewarnai perkembangan hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Putusan-putusan MK mengejutkan banyak pihak dan mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara lebih dinamis.
Salah satu putusan yang mendapat perhatian publik adalah putusan yang membatalkan Pasal 214 UU 10 Tahun 2008 baik dari sisi substansi maupun dari sisi kekuatan hukum. Salah satunya adalah tulisan Ramlan Surbakti dengan tajuk “Perlu Perpu Atur Suara Terbanyak” (Kompas, 11/02/2009) yang menjadi rujukan bagi KPU yang mengemukakan alternatif memberlakukan Pasal 214 jika tidak ada Perpu yang mengaturnya.
Tulisan ini tidak hendak membahas perlu tidaknya Putusan MK itu diatur lebih lanjut dengan Perpu, tetapi akan membahas dasar argumentasi bahwa Putusan MK baru mengikat jika sudah ada peraturan, baik perubahan UU maupun Perpu, yang memperbaiki ketentuan yang telah dibatalkan oleh MK. Terkait dengan putusan suara terbanyak, dinyatakan bahwa KPU baru terikat melaksanakan putusan MK jika putusan itu sudah menjadi bagian dari undang-undang. Argumentasi yang dikemukakan hendak menunjukkan bahwa kedudukan Putusan MK tidak sama dengan UU. Suatu UU yang berlaku mengikat adalah hasil dari proses politik oleh lembaga yang dipilih oleh rakyat.
Masalah mendasar dari tulisan Ramlan Surbakti adalah tidak membedakan antara persoalan kekuatan mengikat putusan MK dan pelaksanaannya.
***
Untuk menentukan produk suatu lembaga negara adalah produk hukum yang mengikat tidak semata-mata ditentukan oleh logika politik keterwakilan. Yang mengikat sebagai norma hukum tidak harus selalu lahir dari proses politik. Yang lebih menentukan adalah apakah produk itu memang ditempatkan sebagai hukum yang mengikat menurut ketentuan yang lebih tinggi dan dibuat sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Untuk mengetahui apa saja produk hukum dalam sistem hukum nasional, tentu saja rujukannya adalah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.
Berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan MK dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Walaupun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi.
Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi.
Oleh karena itu yang terikat melaksanakan Putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Dalam Putusan suara terbanyak, tidak hanya KPU ataupun pemerintah dan DPR yang terikat oleh Putusan MK, tetapi juga partai politik peserta Pemilu sejak putusan itu dibacakan.
***
Karena putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.
Putusan yang langsung dapat dilaksanakan adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut. Misalnya, putusan yang mengembalikan hak pilih mantan anggota PKI dengan membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003. Sejak putusan itu diucapkan, yaitu tanggal 24 Februari 2004, hak pilih mantan anggota PKI telah dipulihkan.
Putusan lain yang langsung dapat dilaksanakan adalah Putusan MK yang membatalkan pasal-pasal tentang penghinaan Presiden dalam KUHP, yaitu Pasal 134, 136 bis, dan 137. Sejak putusan ini diucapkan dalam sidang MK tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan pasal-pasal itu. Kepolisian tidak dapat menjadikan pasal-pasal itu sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula penuntutan oleh kejaksaan. Putusan MK berlaku serta merta, meskipun belum ada perubahan terhadap KUHP.
Di sisi lain, terdapat putusan yang untuk pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih lanjut, yaitu putusan membatalkan suatu norma yang mempengaruhi norma-norma lain, atau untuk melaksanakannya diperlukan aturan yang lebih operasional. Putusan MK mengenai calon perseorangan dalam Pemilukada dan putusan mengenai suara terbanyak adalah contoh jenis putusan ini.
Namun demikian, belum adanya peraturan yang menindaklanjuti putusan MK tidak mengurangi kekuatan mengikat yang telah melekat sejak dibacakan. Setiap pihak yang terkait harus melaksanakan putusan itu. Apabila ada peraturan yang dilaksanakan ternyata bertentangan dengan putusan MK, maka yang menjadi dasar hukum adalah putusan MK.
Mekanisme itu sama halnya dengan pembentukan UU baru. Suatu UU mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diundangkan. Namun demikian ada ketentuan yang dapat langsung dilaksanakan, tetapi ada pula yang memerlukan peraturan pelaksana. Apabila aturan pelaksana belum dibuat atau disesuaikan, hal itu tidak mengurangi sifat mengikat UU itu sendiri. Bahkan, dalam setiap ketentuan penutup UU selalu menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU itu sendiri.
***
Sebagai akhiran perlu ditegaskan bahwa memang untuk melaksanakan putusan MK terkait “suara terbanyak” sebaiknya dibuat pengaturan lebih lanjut. Namun hal itu bukan karena putusan MK belum memiliki kekuatan mengikat, tetapi karena kompleksitas persoalan dalam pelaksanaanya. Pengaturan lebih lanjut tentu sebaiknya dilakukan dengan peraturan setingkat, yaitu perubahan UU atau Perpu. Tetapi, kalaupun peraturan itu tidak dibuat, KPU tetap terikat melaksanakan putusan MK. Tiada cara lain kecuali dengan membuat Peraturan KPU.
Kemungkinan pengujian Peraturan KPU tentu saja ada dan merupakan wewenang MA untuk memutus. Sebagai satu kesatuan sistem hukum, MA tentu saja akan menjadikan putusan MK sebagai dasar dalam memeriksa dan memutus perkara, karena Peraturan yang diuji memang dibuat untuk menindaklanjuti putusan MK. Hakim tentu paham benar kedudukan putusan MK sebagai negative legislation. Hal itu telah terbukti dengan dikabulkannya gugatan 4 partai politik oleh PTUN berdasarkan putusan MK yang membatalkan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008.

EKSEKUSI HUKUMAN MATI

Oleh: Muchamad Ali Safa’at

Setahun yang lalu, perdebatan konstitusionalitas hukuman mati mengemuka pada saat dilakukan pengujian ketentuan hukuman mati dalam UU Narkotika oleh MK. Hukuman mati terkait dengan hak hidup sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa hak untuk hidup adalah salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Salah satu isu konstitusi yang krusial adalah apakah non-derogable rights dalam Pasal 28I Ayat (1) tunduk pada pembatasan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Perdebatan tersebut diakhiri dengan Putusan MK yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun MK dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut juga menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu MK juga menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap segera dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pasca putusan tersebut, telah terdapat beberapa terpidana mati yang dieksekusi oleh regu tembak berdasarkan UU No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Beberapa bulan terakhir, media massa dengan gencar memberitakan pelaksanaan eksekusi beberapa terpidana mati antara lain Sumiyarsih dan Sugeng, Maulana Yusuf, serta Rio Martil.
Hukuman mati kembali akan memasuki perdebatan konstitusional terkait dengan pelaksanaannya, yaitu tata cara eksekusi hukuman mati. Hal itu terkait pengajuan permohonan pengujian UU No. 02/Pnps/1964 oleh terpidana mati kasus bom bali, Amrozi, melalui kuasanya dari Tim Pembela Muslim. Substansi yang diajukan permohonan adalah hukuman mati dengan cara ditembak sampai mati yang dipandang menimbulkan kerugian berupa nestapa fisik yang tidak perlu terjadi dalam proses menuju kematian. Hal itu didalilkan bertentangan dengan hak konstitusional untuk tidak disiksa yang dijamin dalam UUD 1945.
***
Hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang telah ada dan dipraktikkan, terutama sejak abad pertengahan, terhadap berbagai macam kejahatan. Terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati yang pernah diterapkan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sistem hukum yang dianut suatu negara. Cara pelaksanaan hukuman mati tersebut antara lain adalah salib, bakar, penggal, gantung, tembak, kamar gas, kursi listrik, dan injeksi. Hukuman mati dengan cara disalib merupakan cara pelaksanaan hukuman mati yang telah dikenal sejak masa sebelum Kristus hingga saat ini di beberapa negara.
Hukuman mati dengan cara dibakar pernah diterapkan terutama untuk kejahatan bid’ah, sihir, dan terhadap perempuan yang dipandang tidak bermoral. Cara pelaksanaan hukuman mati ini dinyatakan terlarang oleh Paus pada tahun 643. Namun demikian praktik pelaksanaan hukuman mati dengan cara dibakar baru berakhir pada tahun 1834.
Hukuman mati dengan dipenggal dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu yang dilakukan oleh algojo menggunakan kapak. Cara ini dilakukan pada abad ke-16 dan ke-17, terakhir kali digunakan pada tahun 1747 di Inggris. Cara lain adalah dengan menggunakan alat yang disebut dengan guillotine, yang diajukan oleh Dr. Joseph Guillotine untuk mengurangi penyiksaan. Alat itu untuk pertama kalinya digunakan pada 1789 di Perancis dan terakhir digunakan pada 1977 di negara yang sama.
Hukuman gantung merupakan cara yang paling umum dipakai dari berbagai cara yang ada. Terpidana mati digantung dengan seutas tali hingga meninggal karena lehernya patah. Suatu cara yang sederhana. Pada masa lalu, hukuman gantung juga diikuti dengan penyiksaan. Sebelum digantung, terpidana mati diseret, digores, bahkan bagian tubuhnya dipotong beramai-ramai. Hukuman gantung hingga saat ini masih dipraktikkan di beberapa negara, bahkan beberapa negara bagian Amerika Serikat.
Cara pelaksanaan hukuman mati selanjutnya adalah dengan ditembak hingga mati oleh satu regu tembak. Di beberapa negara, hanya sedikit senapan yang berisi peluru tajam, sedangkan senapan yang lain berisi peluru kosong, sehingga eksekutor sesungguhnya tidak diketahui. Beberapa pemimpin Jerman yang diputus hukuman mati oleh pengadilan Nuremberg dengan cara digantung meminta dihukum mati oleh regu tembak karena dianggap lebih bermartabat.
Hukuman mati juga dapat dilakukan dengan cara memasukkan terpidana ke dalam kamar gas. Ke dalam kamar tersebut dialirkan asam hydrochloric, dan beberapa saat kemudian ditambahkan potasium sianida atau sodium sianida yang menghasilkan gas hidrosianik. Gas inilah yang merusak kemampuan hemoglobin darah dan terpidana akan segera tidak sadar jika bernafas dalam-dalam. Namun jika terpidana menahan nafas akan menimbulkan reaksi yang liar, dan kematian baru akan terjadi antara sepuluh hingga delapan belas menit. Eksekusi dengan kamar gas dilakukan pertama kali pada 1924 di Amerika Serikat yang hingga saat ini masih digunakan di beberapa negara bagian.
Metode pelaksanaan hukuman mati yang dapat dikatakan sebagai temua era modern adalah kursi listrik dan injeksi. Kursi listrik menjadi penghantar arus listrik dengan terpidana melalui elektroda yang dirancang khusus. Biasanya eksekusi dilakukan oleh tiga orang yang menekan tombol namun hanya satu di antaranya yang terhubung dengan sumber listrik. Arus yang digunakan disesuaikan dengan berat tubuh terpidana. Hukuman dengan kursi listrik mengakibatkan kerusakan tubuh terpidana dan organ internal terbakar.
Cara pelaksanaan hukuman mati selanjutnya adalah injeksi yang mematikan, yaitu dengan menyuntikkan beberapa macam zat mulai dari yang menghilangkan kesadaran hingga yang mematikan. Zat pertama yang disuntikkan adalah Sodium Thiopental yang mengakibatkan terpidana tertidur pulas. Selanjutnya adalah injeksi Pancuronium Bromide yang merelaksasi otot hingga pernafasan diafragma dan paru-paru berhenti. Zat terakhir yang disuntikkan adalah Potassium Chlorida yang menghentikan kerja jantung.
***
Eksekusi hukuman mati mengalami pergeseran dari yang sifatnya disertai dengan maksud penyiksaan menuju pada cara yang dipandang lebih manusia tanpa melibatkan unsur penyiksaan. Hal itu sesuai dengan perkembangan teori penghukuman yang telah meninggalkan konsep hukuman sebagai pembalasan. Konvenan ECOSOC menegaskan perlunya standar pelaksanaan hukuman mati dengan meminimalisasi penderitaan terpidana.
Terdapat beberapa kriteria cara pelaksanaan hukuman mati yang dipandang sesuai dengan ciri masyarakat beradab. Pertama, harus secepat dan sesederhana mungkin serta bebas dari hal-hal yang meningkatkan ketakutan dan penderitaan terpidana. Kedua, cara tersebut harus secepat mungkin menimbulkan ketidaksadaran terpidana dan secepat mungkin pula mengalami kematian. Ketiga, cara tersebut harus layak dan patut dalam masyarakat yang beradab. Keempat, harus dihindari perusakan anggota tubuh.
Bagi bangsa Indonesia, kriteria cara pelaksanaan hukuman mati tersebut tentu sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta jaminan bebas dari penyiksaan. Namun, untuk menentukan cara mana yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi tentu bukan hal yang mudah. Apakah hukuman mati oleh regu penembak bertentangan dengan konstitusi atau tidak, hakim konstitusi yang akan memutuskan. Di sisi lain, dapat pula ditentukan bahwa terpidana mati memiliki hak untuk memilih cara pelaksanaan hukumannya. (***)

Sumber: Kompas, 27 Juni 2008

Pembatasan Kebebasan Beragama
Oleh Salahuddin Wahid

Hubungan agama dengan negara merupakan masalah klasik dalam kehidupan negara Indonesia.
Dalam BPUPKI dan Majelis Konstituante, terjadi perdebatan tentang dasar negara, Islam atau Pancasila. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menegaskan, Pancasila menjadi dasar negara.
RUU Perkawinan (1973) memicu kembali perdebatan itu, juga saat membahas RUU Peradilan Agama (1989), RUU Sisdiknas (2003), RUU APP (2005), dan dalam kaitan Ahmadiyah. Pendapat MUI soal Ahmadiyah—dari kacamata agama—perlu dihormati. Namun, saat membahasnya dari sudut pandang negara, perlu disampaikan pendapat berbeda.
Kovenan internasional
Indonesia telah meratifikasi dua instrumen HAM, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekosob (UU No 11/2005) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipol (UU No 12/2005). Dalam pertimbangan hukum kedua UU itu ditegaskan, HAM merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia, universal dan langgeng.
Maka, HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas siapa pun. Juga diakui, instrumen internasional yang diatur dalam ICESCR dan ICCPR tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD.
Hal itu sesuai keberadaan negara hukum Indonesia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, menjamin persamaan kedudukan semua warga negara dalam hukum, dan keinginan untuk memajukan dan melindungi HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua UU itu menjelaskan, ratifikasi dilakukan sesuai UUD yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konsekuensinya, negara wajib menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui kovenan tanpa diskriminasi, termasuk mengambil tindakan legislatif atau lainnya, guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu.
Bahkan, untuk ICCPR, negara yang telah meratifikasi harus segera melaksanakan. Karena itu, salah satu hal penting dalam ICCPR adalah instrumen yang dapat menjamin kepatuhan negara berupa mekanisme pelaporan dan pemantauan yang dilakukan komite dalam Dewan HAM PBB.
Hak dasar
Salah satu hak dan kebebasan dasar yang diatur ICCPR adalah hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama, mencakup kebebasan menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihan sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama, di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga mengurangi kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan sesuai pilihannya.
Ketentuan itu sesuai Pasal 28E UUD: tiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai nuraninya. Bahkan, hak kemerdekaan pikiran, nurani, dan hak beragama merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, seperti ketentuan Pasal 28I Ayat 1 UUD.
Terhadap hak yang terkait kebebasan beragama memang berlaku pembatasan. ICCRP menyatakan, kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan guna melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak mendasar dan kebebasan orang lain. Pembatasan senada diatur Pasal 28J Ayat 2 UUD. Pembatasan itu adalah terhadap tindakan sebagai pelaksanaan beragama, bukan keyakinan beragama, karena kebebasan atas keyakinan agama tidak dapat dibatasi oleh siapa pun.
Akan berulang?
SKB tentang Ahmadiyah berisi peringatan sebagai pelaksanaan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. SKB itu tidak dapat dimaknai sebagai pembubaran atau pembekuan, hanya peringatan karena aparat berwenang menilai JAI melanggar ketentuan UU di atas.
Menurut UU No 1/PNPS/1965, penyalahgunaan dan/atau penodaan adalah melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu, yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Pelanggaran terhadap larangan itu diancam pidana dan organisasinya dapat dibubarkan oleh Presiden. Ketentuan itu merupakan pembatasan terhadap hak atas kebebasan beragama yang dijamin UUD dan ICCPR.
Karena itu, persoalan yang harus dipecahkan adalah apakah pembatasan itu memenuhi kriteria sesuai Pasal 28J Ayat 2 UUD dan ICCPR? Apakah suatu aliran agama dapat dilarang dan dibubarkan karena memiliki penafsiran berbeda dengan aliran lain? Apakah keresahan sekelompok penganut agama dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan, suatu aliran agama telah mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum? Siapa yang berhak menilai suatu penafsiran atau kegiatan keagamaan telah menyimpang dari pokok ajaran agama itu? Dapatkah Presiden membatasi, melarang, dan membubarkan, padahal dalam proses itu harus dilakukan pembuktian pelanggaran yang dilakukan?
Kekerasan dan perpecahan terkait kasus Ahmadiyah dan semacamnya akan berulang di masa depan jika berbagai pertanyaan itu belum terjawab. Maka, langkah hukum yang tepat adalah meninjau konstitusionalitas (bertentangan dengan UUD atau tidak) UU No 1/PNPS/1965 sehingga ada pedoman sesuai norma konstitusi dalam menyikapi perbedaan.
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Religion and Expression Rights Denied, Broader Reform Agenda Endangered

http://hrw.org/english/docs/2008/06/06/turkey19050.htm


(Istanbul, June 7, 2008) – The decision by Turkey’s Constitutional Court to cancel constitutional amendments that would have opened the way for women to wear a headscarf in universities is a blow to freedom of religion and other fundamental rights, Human Rights Watch said today. The court ruled on June 5 that the Turkish parliament had violated the constitutionally enshrined principle of secularism when it passed amendments to lift the headscarf ban on university campuses. The amendments were adopted by an overwhelming majority of parliament.


“This decision means that women who choose to wear a headscarf in Turkey will be forced to choose between their religion and their education,” said Holly Cartner, Europe and Central Asia director at Human Rights Watch. “This is a truly disappointing decision and does not bode well for the reform process.”

In early February 2008, the governing Justice and Development Party (AKP), supported by the opposition Nationalist Action Party (MHP), passed changes to the constitution concerning the principle of equality and the right to education. The headscarf is not specifically mentioned in either of these amendments, but the parliament’s intention was to end its ban in universities.

The Constitutional Court’s decision to annul these amendments will have a dire impact on women university students who wish to wear a headscarf for reasons of conscience and as an expression of their Muslim faith. Human Rights Watch has long supported lifting the current restrictions on headscarves in university on the grounds that the prohibition is an unwarranted infringement on the right to religious practice. Moreover, this restriction of dress, which only applies to women, is discriminatory and violates their right to education, freedom of thought, conscience, religion, and privacy.

In a 2004 report, “Memorandum to the Turkish Government on Human Rights Watch’s Concerns with Regard to Academic Freedom in Higher Education, and Access to Higher Education for Women who Wear the Headscarf ”, Human Rights Watch urged the government to lift the headscarf ban as part of a broader strategy for remedying shortcomings in the protection of women and improving their access to education and employment. A similar approach was suggested by the United Nations Committee on the Elimination of Discrimination against Women.

“The failed attempt by the AKP government to change the constitution on the headscarf issue only highlights its failure to redraft the constitution in its entirety, despite having promised to do so when it was re-elected,” Cartner said. “The 1982 constitution fails to protect human rights and should have been done away with already.”

The current constitution was drawn up in 1982 under the then-military regime brought to power by the September 12, 1980 military coup. This constitution severely restricts the fundamental freedoms and human rights enshrined in Turkey’s international human rights obligations, including limitations on freedom of expression, which have had a particularly negative impact on Turkey’s minorities.

After being re-elected with 47 percent of the vote in the July 2007 general election, the government promised to revise the 1982 Constitution entirely. However, instead of producing a new draft constitution that would address the broad range of rights concerns, the government controversially promoted only the amendments to lift the headscarf ban that prompted the June 5 Constitutional Court decision.

Background
The constitutional changes were drawn up by the government with the support of the opposition MHP on January 29, 2008 and passed by the Turkish Parliament on February 6 and 9. On February 22, President Abdullah Gül approved the changes. In response, the opposition CHP (Republican People’s Party) and the DSP (Democratic Left Party) applied to the Constitutional Court for the annulment of these changes on the grounds that they violated the principle of secularism in Article 2 of the Constitution.

On May 17, Osman Can, the rapporteur appointed by the Constitutional Court, submitted a report to the court advising that the case should be dismissed on the grounds that the court’s authority could not extend to monitoring substantive constitutional changes introduced by a parliament. Osman Can’s report, which had no binding power on the court, focused on the limitations on the court’s powers and argued on the basis of the court’s previous decisions and the 1982 Constitution that its focus should be on monitoring constitutional reforms on a procedural basis.

;;