Oleh: Muchamad Ali safa’at

Salah satu perkembangan hukum yang marak akhir-akhir ini adalah pembentukan Perpu, baik sudah dilaksanakan maupun baru berupa gagasan. Perpu tersebut antara lain adalah Perpu Perpanjangan Sunset Policy Pajak dan Perpu mengenai Tata Cara Pencontrengan dalam Pemillu mendatang. Perpu tersebut diterbitkan untuk menggantikan ketentuan dalam Undang-undang yang belum lama dibuat, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP dan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Perpu merupakan bentuk hukum yang bersifat khusus karena wewenang pembentukannya diberikan hanya kepada Presiden, dibandingkan wewenang legislasi utama dalam UUD 1945 yang diberikan kepada DPR dan Presiden bersama-sama. Sifat khusus tersebut dapat dilihat dari bentuk hukum, yaitu Peraturan Pemerintah tetapi berkedudukan sejajar dengan UU yang dalam keadaan normal seharusnya berada di bawah UU. Kedudukan Perpu yang sejajar dengan UU merupakan konsekuensi dari keberadaan Perpu untuk menggantikan ketentuan UU.
Sebagai bentuk hukum yang khusus, tentu Perpu tidak dapat dibuat dalam keadaan normal. Dengan kata lain, Perpu hanya dapat dibuat jika ada kondisi yang luar biasa. UUD 1945 merumuskan kondisi yang membenarkan dibuatnya Perpu adalah hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga ketentuan dalam suatu UU tidak dapat dijalankan dan harus diganti. Walaupun telah diberlakukan, Perpu tersebut nantinya harus mendapat persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya.
Apakah yang dimaksud dengan hal ihwal kegentingan memaksa? Mengingat ketentuan ini merupakan ketentuan yang tidak mengalami perubahan pada saat terjadi Perubahan UUD 1945, maka sebagai bahan untuk memahami frasa tersebut dapat dilihat Penjelasan Pasal 22 UUD 1945. Penjelasan tersebut menyatakan “Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kegentingan yang memaksa adalah “keadaan genting” yang terkait dengan tugas pemerintah menjamin “keselamatan negara”. Oleh karena itu Perpu hanya dapat dikeluarkan pada saat keselamatan negara terancam. Ancaman dapat datang baik dari dalam maupun dari luar. Ancaman tersebut juga dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti penyerangan dari luar, pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, serta peristiwa lain yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan sehingga tidak dapat menjamin keselamatan negara.
Selain itu patut pula diingat bahwa penggantian ketentuan dalam UU melalui Perpu adalah karena ketentuan dalam UU dimaksud tidak dapat dijalankan karena dua kemungkinan alasan. Pertama, jika ketentuan tersebut dijalankan, justru keselamatan negara pada saat itu akan terancam. Kedua, ketentuan dimaksud tidak cukup memberikan landasan hukum kepada pemerintah untuk menjamin keselamatan negara. Perpu tidak dapat dikeluarkan hanya karena pemerintah tidak berhasil menjalankan ketentuan UU yang sesungguhnya telah cukup baik dan dapat menjamin keselamatan negara.
***
Unsur kegentingan memaksa dapat dilihat pada dikeluarkannya Perpu tentang tata cara pencontrengan untuk Pemilu 2009. Ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2008 menentukan bahwa pencontrengan dilakukan sekali pada kertas suara, padahal pada kertas suara terdapat gambar partai dan nama calon legislatif. Terdapat kemungkinan pemilih mencontreng gambar partai dan salah satu caleg dalam partai tersebut, atau dua kali mencontreng pada nomor dan naman calon yang sama. Hal itu sangat mungkin karena cara pencontrengan merupakan hal baru pada Pemilu di Indonesia.
Jika ketentuan sekali mencontreng tidak diubah, terdapat dua dampak yang membahayakan. Pertama, suara pemilih akan hilang karena dianggap tidak sah, yang hal itu menentukan terpilih tidaknya seorang calon. Seorang pemilih yang mencontreng Partai A dan untuk calegnya adalah nomor X akan kehilangan suaranya, padahal sangat jelas bahwa itulah kehendak pemilih tersebut. Demikian pula pada saat pemilih mencontreng dua kali pada satu kolom caleg yang jelas menunjukkan bahwa kehendak pemilih adalah pada caleg tersebut.
Hal itu akan mengakibatkan hasil Pemilu tidak dapat merepresentasikan kehendak rakyat yang sesungguhnya. Calon yang terpilih dan partai pemenang Pemilu belum tentu merupakan calon dan partai yang benar-benar dikehendaki rakyat, melainkan karena banyak pilihan rakyat yang dianggap tidak sah. Dampak selanjutnya adalah banyaknya suara yang tidak sah sehingga akan menurunkan legitimasi wakil rakyat dan hal ini mempengaruhi produk yang dihasilkan dan pemerintahan yang akan dijalankan. Pada titik ini keselamatan negara demokrasi terancam karena wakil rakyat dan pemerintahan tidak benar-benar terbentuk dan berjalan berdasarkan kehendak rakyat.
***
Apakah unsur “kegentingan memaksa” dapat dilihat pada Perpu mengenai perpanjangan sunset policy? Perpu tersebut dibuat untuk mengganti ketentuan Pasal 37A UU KUP yang membatasi kebijakan pengurangan atau penghapusan bunga bagi wajib pajak yang menyampaikan pembetulan SPT serta kebijakan penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak orang pribadi yang secara suka rela mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP masing-masing selama 1 tahun setelah UU tersebut berlaku. Perpu perpanjangan sunset policy diperuntukkan bagi wajib pajak yang telah memiliki NPWP sebelum 2008 yang akan melakukan pembetulan SPT dan masa pembayaran pajak.
Alasan penerbitan Perpu tersebut menurut Dirjen Pajak, Darmin Nasution, adalah besarnya antusiasme masyarakat dalam memanfaatkan kebijakan sunset policy yang mengakibatkan Dirjen pajak kewalahan memberikan pelayanan (Bisnis Indonesia Online, 31/12/2008). Alasan tersebut jelas menunjukkan bahwa tidak ada persoalan pada ketentuan Pasal 37A UU KUP. Persoalannya adalah pada kapasitas dan pelayanan yang diberikan oleh Dirjen Pajak, serta budaya masyarakat yang melakukan pembetulan SPT serta pembayaran menjelang ambang batas waktu yang diberikan.
UU KUP telah memberikan waktu selama 1 tahun kepada wajib pajak untuk melakukan pembetulan dan pembayaran pajak. Pemberian waktu kepada wajib pajak tersebut tentu menjadi tugas pemerintah, khususnya Dirjen Pajak, untuk membuat mekanisme dan standar pelayanan mengantisipasi antusiasme masyarakat. Jika pada akhirnya kewalahan, hal itu adalah tanggung jawab pelaksana UU, bukan karena norma itu sendiri. Oleh karena itu alasan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai “kegentingan memaksa”.
Di sisi lain ada atau tidak kebijakan sunset policy, membayar pajak adalah kewajiban warga negara. Apabila telah diberikan kebijakan sunset policy wajib pajak tetap tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak, maka sudah seharusnya dikenakan sanksi. Adalah kewajiban negara, dalam hal ini Dirjen Pajak, untuk melaksanakan ketentuan tersebut, termasuk mengenakan sanksi. Pajak tersebut dan bunga sebagai sanksi tetap harus dipungut.
Dirjen Pajak telah berhasil meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak, antara lain melalui kebijakan sunset policy. Apabila kebijakan tersebut tidak diperpanjang, wajib pajak tetap harus membayar pajaknya disertai dengan sanksi bunga. Adalah kewajiban aparatur pajak untuk memungutnya. Dengan demikian, apabila kebijakan tersebut tidak diperpanjang, tidak ada aspek keselamatan negara yang terancam dan pemerintah tetap dapat menjalankan tugasnya menjamin keselamatan itu. Tidak adalah alasan kegentingan yang memaksa dalam penerbitan Perpu perpanjangan sunset policy itu.
***
Hukum dibuat untuk dipatuhi. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, aturan hukum merupakan dasar dan pedoman bagi pemerintah untuk menjalankan tugas-tugasnya. Hukum tidak boleh hanya dijadikan sebagai pembenar apa yang dilakukan dan dikehendaki pemerintah. Jika hukum diposisikan sebagai alat pembenar, maka itu adalah awal kesewenang-wenangan.
Perpu sebagai produk hukum yang hanya dibuat oleh pemerintah sendiri memiliki potensi digunakan sebagai legitimasi, seperti kecenderungan penggunaan Keppres pada masa Soeharto. Sudah saatnya aturan hukum dipatuhi dan dengan seoptimal mungkin dilaksanakan, bukan disimpangi dan dilanggar, lalu membuat aturan hukum sebagai legitimasi pelanggaran atau ketidakberhasilan pelaksanaannya. (***)

0 Comments:

Post a Comment