MILITER DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA
Oleh: Muchamad Ali Safa’at[i]
Oleh: Muchamad Ali Safa’at[i]
Tujuan Negara Dan Fungsi Pertahanan
Tujuan sebuah negara jika didekati secara sosiologis mengasumsikan bahwa individu-individu dalam suatu negara disatukan oleh fakta bahwa mereka memiliki suatu kehendak bersama (a common will) atau kepentingan bersama (a common interest).[ii] Untuk mencapai tujuan tersebut negara menjalankan berbagai fungsi yang dilaksanakan oleh seperangkat institusi sebagai satu kesatuan berdasarkan tatanan hukum.[iii] Tujuan negara dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu pendekatan teoritis dengan melihat pada hal-hal nyata dalam kehidupan kenegaraan[iv], dan pendekatan konstitusional dengan melihat konstitusinya.
Masalah tujuan negara telah mendapat perhatian pemikir politik dan filsafat sejak jaman Yunani. Plato dalam the Republic mengemukakan bahwa negara timbul karena adanya kebutuhan manusia untuk mencapaikan kebaikan dalam hidupnya. Kebaikan adalah pengetahuan obyektif yang dapat dikuasai. Maka agar negara mencapai bentuk negara ideal, harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (the philosopher king). Negara ideal adalah negara yang dapat mewujudkan keadilan sebagai substansi kebaikan. Keadilan adalah “is the bond which holds a society together, a harmonious union of individuals each of whom has found his life-work in accordance with his natural fitness and his training.” Namun pada bukunya “the Statesman” dan “the Law”, Plato menyatakan bahwa tidak mungkin mencapai bentuk ideal negara. Yang dapat dicapai adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Penyusunan hukum membutuhkan kebijakan-kebijakan tertentu dalam tradisi monarki sehingga bentuk terbaik adalah gabungan antara demokrasi dan monarki.[v]
Aristoteles melihat negara sebagai “an association of men for the sake of the best moral life.” Tujuan nyata sebuah negara adalah mengembangkan moral warganya untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible). Untuk mencapai tujuan tersebut Aristoteles sependapat dengan pemikiran Plato dalam the Law, yaitu perlunya supremasi hukum. Hukum adalah manifestasi kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga opini publik diperlukan dalam pembentukkannya. Manusia sempurna adalah binatang paling baik, tetapi ketika dipisahkan dari hukum dan keadilan, dia adalah yang paling buruk.[vi]
Immanuel Kant menyatakan bahwa tujuan negara adalah membentuk dan mempertahankan hukum yang menjamin kedudukan hukum individu dalam masyarakat. Tujuan negara adalah untuk membentuk dan memelihara hak warga negara.[vii] Pemikiran tujuan negara berkembang seiring dengan perkembangan kenegaraan, terutama perubahan negara-negara monarki tradisional menjadi negara demokrasi modern. Tujuan negara pada masa demokrasi modern dikemukakan lebih substantif pada kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Laski menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk mewujudkan kebaikan masyarakat sebanyak mungkin. Namun negara tidak meliputi seluruh wilayah kehidupan manusia. Terdapat perbedaan antara negara dan masyarakat sehingga kehendak negara tidak sekaligus merupakan kehendak masyarakat. Kehendak negara lebih merupakan kehendak pemerintah sebagai tata aturan yang diterima oleh masyarakat.[viii] Menurut H. Soltau, tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.[ix]
Charles E. Merriam mengemukakan lima tujuan negara, yaitu (1) keamanan ekstern, (2) ketertiban intern, (3) keadilan, (4) kesejahteraan umum, dan (5) kebebasan. Keamanan ekstern adalah melindungi negara dari serangan negara atau kelompok lain. Ketertiban internal adalah suatu tatanan tentang fungsi-fungsi yang akan dijalankan oleh organ-organ negara berdasarkan pembagian kerja dan pertanggungjawabannya untuk mencapai tujuan bersama. Keadilan adalah kondisi tercapainya persetujuan yang patut tentang distribusi berdasarkan tata aturan yang telah disepakati. Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan individu yang juga meliputi kebutuhan keamanan dan ketertiban. Kebebasan adalah kesempatan warga negara untuk mengekspresikan kehendak dan keinginannya sesuai dengan gagasan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama.[x]
Dari sisi konstitusional, Konstitusi suatu negara dapat juga dilihat sebagai manifesto politik yang berisi penegasan identitas bangsa dan nilai-nilai yang menjadi acuan dan pedoman dan penyelenggaraan negara. Tujuan negara biasanya dirumuskan dalam satu kesatuan dengan nilai-nilai konstitusional pada pembukaan konstitusi. Sebagai contoh, konstitusi Amerika Serikat misalnya, dalam pembukaannya menyatakan:[xi]
“We the People of United States, in order to form a more perfect Union, establish justice, insure domestic Tranquillity, provide for the common defence, promote the general Welfare, and secure the Blessings of Liberty to ourselves and our Posterity, do ordain and establish this Constitution for the United State of America.”
Konstitusi Brazil dalam pembukaannya menyatakan bahwa pembentukan negara demokratis adalah untuk tujuan menjamin terlaksananya hak-hak sosial dan individu, kesejahteraan, keamanan, kehidupan yang baik, pembangunan, persamaan dan keadilan, dan masyarakat yang pluralis yang harmonis.[xii] Pembukaan Konstitusi republik kelima Perancis menyatakan sebagai berikut:[xiii]
“The French people hereby solemnly proclaim their dedication to the Rights of Man and the principle of national sovereignty as defined by the Declaration of 1789, reaffirmed and complemented by the Preamble to the 1946 Constitution.
By virtue of these principles and that of the free determination of peoples, the Republic offers to the Overseas Territories expressly desiring this to adhere to them new institutions based on the common ideal of liberty, equality, and fraternity and conceived with a view to their democratic evolution.”
Konstitusi Argentina menyebutkan tujuannya adalah untuk membentuk persatuan nasional, menjamin keadilan dan perdamaian, pertahanan bersama, dan memajukan kesejahteraan umum.[xiv] Konstitusi Philippina 1987 dalam pembukaannya terdapat tujuan negara yaitu untuk membangun keadilan dan masyarakat yang manusiawi, membentuk pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita dan aspirasi, memajukan kebaikan bersama, membangun ikatan kekeluargaan, dan menjamin masyarakat dan generasi penerus.[xv]
Tujuan bangsa Indonesia jika dilihat dari UUD 1945 tertuang dalam paragraf keempat, yaitu; (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Rumusan tujuan tersebut menjadi bagian dari pokok-pokok pikiran yang mendasari pengorganisasian negara lebih lanjut.[xvi]
Jika melihat pada konstitusi dan pemikiran-pemikiran teoritis yang ada, tujuan negara dapat dilihat dari dua aspek yang saling terkait, yaitu aspek keluar dan aspek kedalam. Aspek keluar biasanya terkait dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari serangan kelompok lain dan mempertahankan kemerdekaan.
Sedangkan aspek kedalam terkait dengan mengangkat derajat kemanusiaan warga negara baik secara politik maupun sosial ekonomi. Kondisi ekstrem dari aspek ini adalah menjamin kebebasan individu-individu dalam negara. Negara-negara menekankan pada aspek eksternal biasanya merupakan negara-negara yang terbentuk dengan kemerdekaan dan jajahan negara lain. Sedangkan negara-negara yang menekankan aspek ke dalam adalah negara yang terbangun dari revolusi menggantikan rejim lama yang otoriter. Namun pada perkembangannya kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan karena pengembangan kebebasan individu dan kesejahteraan yang mengangkat derajat manusia tidak dapat dilakukan jika menghadapi ancaman dari luar. Demikian juga sebaliknya, mempertahankan diri dari serangan luar tidak dapat dilakukan jika aspek internal diabaikan.
Tujuan yang meliputi aspek keluar dicapai dengan dua cara utama, yaitu fungsi diplomasi dan fungsi pertahanan. Pertahanan merupakan salah satu fungsi awal yang telah ada sejak berdirinya negara yang disebut sebagai fungsi melakukan perang.[xvii]
Organ Negara dan Pemisahan Kekuasaan
Negara sebagai suatu organisasi adalah suatu struktur jabatan-jabatan.[xviii] Perkembangan arti negara menurut Kranenburg pada akhirnya menjadi memiliki pengertian “fungsi-fungsi umum yang teratur dan alat-alat yang membentangkan diri atas jabatan-jabatan”.[xix]
Dari sudut pandang politik, H.J. Laski mendefinisikan negara sebagai berikut:
“The modern State is a territorial society divided into government and subjects claiming, within its alloted physical area, a supremacy over all other institutions.”
Dua hal utama yang ada dalam berbagai pengertian negara yang dikemukakan para ahli adalah organisasi dan kekuasaan. Sebagai sebuah organisasi, negara memiliki alat-alat kelengkapan yang disebut dengan organ negara. Organ-organ inilah yang menjalankan kekuasaan negara secara terorganisir untuk mencapai tujuan negara.
Sebuah organisasi tanpa alat kelengkapan bukan merupakan organisasi. Bahkan dapat dikemukakan bahwa organ negara merupakan salah satu unsur dari negara. Oppenheim Lauterpach berpendapat bahwa unsur-unsur negara terdiri dari (a) rakyat, (b) daerah, dan (c) pemerintah yang berdaulat.[xx] Menurut Utrecht, pengertian pemerintah yang berdaulat meliputi tiga hal, yaitu:[xxi]
1. Pemerintah sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan yang berkuasa memerintah
dalam arti luas. Termasuk dalam hal ini adalah cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif.
2. Pemerintah sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah
2. Pemerintah sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah
di wilayah suatu negara.
3. Pemerintah dalam arti kepala negara (Presiden) bersama-sama dengan menteri-menterinya,
3. Pemerintah dalam arti kepala negara (Presiden) bersama-sama dengan menteri-menterinya,
yang berarti organ eksekutif.
Secara umum, siapapun yang melaksanakan fungsi yang ditentukan oleh hukum adalah sebuah organ negara. Kualitas sebuah organ negara ditentukan oleh fungsi yang dijalankannya. Sebuah organ negara memiliki kedudukan hukum khusus (a specific legal position). Aturan hukum yang menjadi dasar organ negara meliputi kedudukan dalam struktur negara dan fungsi yang harus dijalankan. Organ negara melaksanakan fungsinya secara profesional berdasarkan hukum yang berlaku dan digaji dengan keuangan negara. Untuk mengisi jabatan dalam organ negara dapat dilakukan dengan pemilihan atau pengangkatan.[xxii]
Salah satu masalah yang harus diatur dalam pembentukan sebuah organ negara atau departemen pemerintahan adalah kejelasan aturan tentang hubungan dengan organ atau departemen lain. Hal ini menentukan di mana posisi organ tersebut dalam struktur bangunan negara. Substansi pengaturan dibuat dengan mempertimbangkan keseluruhan sistem yang dijalankan dan dengan orientasi terlaksananya fungsi yang dijalankan oleh organ tersebut.[xxiii]
Organ negara yang melaksanakan kekuasaan negara dapat terdiri dari beberapa macam dengan kekuasaan yang berbeda-beda sesuai dengan tipe negaranya. Dalam sebuah negara monarki absolut, raja adalah sebuah organ negara yang menjalankan seluruh kekuasaan negara secara terpusat. Sedangkan dalam tipe negara demokrasi organ-organ negara dapat dilihat dari konstitusi negara tersebut sebagai hasil dari perjanjian masyarakat dan merupakan hukum dasar negara.
Konstitusi, menurut C.F. Strong, adalah “a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two adjusted.” Dalam sebuah konstitusi dapat ditemukan tiga hal pokok, yaitu “first, how the various agencies are organized; secondly, what power is entrusted to those agencies; and thirdly, in what manner such power is to be exercised.”[xxiv]
Dari uraian di atas, salah satu dari materi muatan konstitusi adalah prinsip dasar penyelenggaraan negara oleh organ negara. Termasuk didalamnya tentang organ negara, kewenangannya, hubungan antar lembaga negara, dan hubungannya dengan warga negara yang dijamin hak-hak asasinya. Hal ini sesungguhnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara, yang kemudian dikenal dengan istilah konstitusionalisme. Strong menyatakan bahwa:
“The object of a constitution, in short, are to limit the arbitrary action of government, to guarantee the rights of the governed, and to define the operation of the sovereign power.”[xxv]
Salah satu ciri Negara-negara demokrasi modern terkait dengan upaya pembatasan kekuasaan adalah dianutnya pemisahan kekuasaan. Hal ini sekaligus membedakan negara demokrasi dengan negara monarki. Terdapat beberapa teori pemisahan kekuasaan, diantaranya adalah yang dikemukakan oleh Aristoteles, John Locke, dan Montesqiue yang kemudian disempurnakan oleh Immanuel Kant. Diantara beberapa teori tersebut, yang paling banyak dipakai dan sesuai dengan kondisi negara-negara modern adalah teori Montesqiue yang membagi fungsi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pandangan Montesqiue tentang pemisahan kekuasaan adalah sebagai berikut:[xxvi]
“In every government there are three sorts of power: the legislatif; the executive in respect to things dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that depend on the civil law. By virtue of the first, the prince or magistrate enact temporary or prepertual laws, and amends or abrogates those that have been already enacted. By the second, he makes peace or war, sends or receives embassies, establishes the public security, and provides agaist invasions. By the third, he punishes criminal, or determines the disputes that arise between individuals. The latter we shall call the judiciary power, and the other simply the executive power of state.”
Ketiga kekuasaan tersebut harus dipegang oleh organ negara yang berbeda demi terpenuhinya kebebasan politik. Montesquieu menyatakan:[xxvii]
“In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another. When legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehension may arise, lest the same monarch or senate should enact tyrannical laws, to execute them in a tyrannic manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power not be separated from legislative and executive.”
Setelah dilakukan perubahan UUD 1945 hingga empat kali, terdapat organ negara yang dihapuskan dan ada organ-organ negara yang baru. Organ negara yang dihapuskan adalah DPA. Sedangkan organ negara baru yang dibentuk adalah Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Dewan Perwakilan Daerah. Beberapa organ juga disebutkan dalam UUD 1945 hasil perubahan walaupun secara tidak tegas, yaitu komisi pemilihan umum dan badan penasehat presiden. Selain itu juga terjadi pemisahan fungsi yaitu fungsi pertahanan nasional yang dilaksanakan oleh TNI disamping fungsi kepolisian yang dilaksanakan oleh POLRI.
Asshiddiqie mengemukakan bahwa bentuk keorganisasian negara-negara modern telah banyak mengalami perubahan yang juga terjadi di Indonesia. Perubahan-perubahan organisasi kelembagaan negara tersebut terdiri dari dua hal, yaitu; pertama, muncul kesadaran yang semakin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi militer, Kepolisian, Kejaksaan, dan Bank Sentral harus dikembangkan secara independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepetingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Untuk kasus Indonesia, yang telah menikmati independensi adalah Militer TNI, Kepolisian Negara (POLRI), dan Bank Indonesia sebagai Bank Central.[xxviii]
Kedua, muncul perkembangan berkenaan dengan kasus-kasus khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lain berdasarkan suatu Undang-Undang. Bahkan terdapat Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk dengan Keputusan Presiden. Komisi-komisi tersebut selalu diidealkan bersifat independent dan menjalankan fungsi-fungsi secara campuran, antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di banyak negara juga muncul istilah “independent and self regulatory bodies”, yang di Amerika Serikat misalnya terdapat lebih dari 30 jumlahnya.
Setiap organ negara memiliki kewenangan tertentu secara terbatas sebagaimana biasanya disebutkan dalam landasan hukum berdirinya organ negara tersebut. Hal ini merupakan wujud dari pembatasan kekuasaan dalam negara demokrasi. Kewenangan adalah hak, kewajiban, dan fungsi yang dimiliki oleh suatu organ negara berdasarkan aturan hukum yang berlaku untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Kewenangan dalam bahasa Inggris disebut dengan authority yang berarti “the rights or permission to act legally on another’s behalf; the power delegated by a principal to an agent.”[xxix]
Militer Dan Struktur Ketatanegaraan
Militer sebagai kata sifat menunjuk pada sesuatu yang terkait dengan kekuatan bersenjata (armed forces) atau berkaitan dengan peperangan. Sebagai kata benda, militer adalah kekuatan bersenjata. Jadi militer adalah organ yang di dalamnya meliputi penggunaan senjata. Dalam konteks kenegaraan militer adalah organ yang dibentuk untuk menjalankan fungsi pertahanan dan peperangan.[xxx]
Locke mengemukakan bahwa kekuasaan untuk membuat perdamaian dan perang, membentuk liga dan aliansi merupakan wilayah kekuasaan federatif berdasarkan arahan kekuasaan legislatif untuk mempertahankan komunitas dan anggotanya.[xxxi] Sedangkan Montesqiue meletakkan fungsi pertahanan dalam wilayah kekuasaan eksekutif. Montesqiue menyatakan “By the second, he makes peace or war, sends or receives embassies, establishes the public security, and provides agaist invasions.”[xxxii]
Perkembangan organisasi negara di masa modern mengarah menjadi semakin terdistribusi ke banyak organ. Berbagai lembaga dibentuk dengan kewenangan khusus di suatu masalah namun meliputi aspek-aspek kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Perkembangan ide konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan juga mengarah pada adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat independent. Independensi ini untuk menjaga agar fungsi suatu organisasi tidak disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Militer misalnya, karena memiliki otoritas memegang senjata, dapat digunakan untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi. Maka militer merupakan salah satu organisasi yang pengaturannya mengarah lebih independen.[xxxiii]
Di negara-negara demokrasi modern, baik struktur militer maupun sipil selalu berorientasi sipil karena keduanya tergantung dari dan bertanggungjawab kepada organisasi politik negara dan harus memperoleh dukungannya. Struktur politik dan organisasi militer berdiri sendiri berdasarkan persetujuan masyarakat politik, yaitu warga negara.[xxxiv] Namun demikian, masa depan hubungan sipil-militer di negara demokrasi akan tergantung pada tindakan pemimpin sipil. Masalah kemungkinan muncul pada negara yang pemimpinnya tidak mampu untuk meningkatkan perkembangan ekonomi dan memelihara ketertiban dan hukum. Di negara-negara tersebut, politisi dapat tergoda untuk menggunakan militer dalam menyelesaikan berbagai persoalan, bahkan demi ambisi politik mereka.[xxxv]
Masalah lain yang menjadi pertimbangan penempatan militer dalam struktur ketatanegaraan adalah perkembangan organ militer yang tidak hanya mematuhi perintah untuk dapat melaksanakan fungsi pertahanan. Tanggungjawab organ militer terhadap negara meliputi tiga fungsi, yaitu fungsi representatif, fungsi penasihat, dan fungsi eksekutif.[xxxvi]
Fungsi representatif adalah mewakili tuntutan keamanan negara terkait dengan kemampuan yang dibutuhkan. Militer harus memastikan bahwa negara mengetahui informasi tentang batas minimal kekuatan militer yang harus dimiliki di tengah-tengah kemampuan negara lain. Militer memiliki hak dan tugas untuk mengemukakan pandangannya tentang masalah ini kepada lembaga negara, terutama eksekutif dan legislatif, karena terkait dengan kebijakan distribusi sumber daya negara yang proporsional antara kepentingan militer dengan kepentingan lain.[xxxvii]
Fungsi penasihat adalah fungsi untuk menganalisis dan melaporkan implikasi dari kebijakan dan tindakan negara di bidang lain dari sudut pandang kemiliteran. Disebut sebagai fungsi penasihat karena militer hanya memberikan pertimbangan dari satu sudut pandang, yaitu sudut pandang kepentingan masalah kemiliteran. Sedangkan keputusan kenegaraan dibuat tidak hanya didasarkan pada satu pertimbangan tertentu, tetapi dari berbagai sudut pandang kepentingan negara. Fungsi eksekutif adalah melaksanakan keputusan-keputusan negara dalam hal kemiliteran bahkan jika keputusan tersebut bertentangan dengan pertimbangan militer sendiri.[xxxviii]
Prinsip pemisahan kekuasaan dan kecenderungan bervariasinya organ-organ negara serta tanggung jawab militer terhadap negara yang diterjemahkan dalam tiga fungsi sebagaimana diuraikan di atas adalah kecenderungan yang mempengaruhi kedudukan militer dalam struktur ketatanegaraan di negara-negara hukum yang demokratis. Secara umum kedudukan militer dalam struktur ketatanegaraan dapat dilihat dari tingkatan otoritas sebagai posisi yang diduduki oleh organ tertentu dalam hierarki otoritas pemerintahan. Tentu saja hierarki tersebut tersusun dalam suatu hubungan yang formal maupun informal, namun secara hukum yang harus dianalisis terlebih dahulu adalah hierarki otoritas pemerintahan secara formal.
Huntington membedakan tiga tingkatan otoritas militer dalam pemerintahan. Pertama, Militer memiliki otoritas maksimal pada saat berada pada puncak hierarki sedangkan institusi pemerintah lainnya berada di bawahnya.[xxxix] Pemimpin militer menjalankan kedaulatan kekuasaan militer. Negara dengan struktur semacam ini oleh Plato disebut dengan tymokrasi sebagai bentuk pemerosotan, sedangkan di era modern dikenal dengan istilah “autocracy” atau despotisme. Semua tata hukum di semua tingkatan dibuat oleh penguasa secara langsung atau oleh organ yang ditunjukkan. Penguasa tidak berada di bawah hukum sehingga tidak dapat dikenai pertanggungjawaban berupa sanksi.[xl] Dalam pemerintahan militer semua fungsi publik dalam negara dan pelaksanaan fungsi pemerintahan dikontrol oleh aparat militer.[xli]
Pemerintahan dengan militer sebagai puncak otoritas dapat terjadi baik melalui ketentuan konstitusional maupun melalui praktek kenegaraan yang tidak sesuai dengan konstitusi. Dalam bentuk konstitusional, model pemerintahan militer dapat dilihat pada konstitusi Junta Militer di Chile. Ketentuan peralihan poin keempatbelas konstitusi Chile menyatakan bahwa pemerintahan dilaksanakan oleh presiden Jenderal Augusto Pinochet dan pemerintah Junta. Pemerintah Junta terdiri dari Komandan Angkatan Darat, Komandan Angkatan Laut, Komandan Angkatan Udara, dan Direktur Jenderal Kepolisian. Pemerintah Junta memiliki kewenangan:[xlii]
a. Exercise the Constituent Power, being always subject to approval by plebiscite, to be held
Secara umum, siapapun yang melaksanakan fungsi yang ditentukan oleh hukum adalah sebuah organ negara. Kualitas sebuah organ negara ditentukan oleh fungsi yang dijalankannya. Sebuah organ negara memiliki kedudukan hukum khusus (a specific legal position). Aturan hukum yang menjadi dasar organ negara meliputi kedudukan dalam struktur negara dan fungsi yang harus dijalankan. Organ negara melaksanakan fungsinya secara profesional berdasarkan hukum yang berlaku dan digaji dengan keuangan negara. Untuk mengisi jabatan dalam organ negara dapat dilakukan dengan pemilihan atau pengangkatan.[xxii]
Salah satu masalah yang harus diatur dalam pembentukan sebuah organ negara atau departemen pemerintahan adalah kejelasan aturan tentang hubungan dengan organ atau departemen lain. Hal ini menentukan di mana posisi organ tersebut dalam struktur bangunan negara. Substansi pengaturan dibuat dengan mempertimbangkan keseluruhan sistem yang dijalankan dan dengan orientasi terlaksananya fungsi yang dijalankan oleh organ tersebut.[xxiii]
Organ negara yang melaksanakan kekuasaan negara dapat terdiri dari beberapa macam dengan kekuasaan yang berbeda-beda sesuai dengan tipe negaranya. Dalam sebuah negara monarki absolut, raja adalah sebuah organ negara yang menjalankan seluruh kekuasaan negara secara terpusat. Sedangkan dalam tipe negara demokrasi organ-organ negara dapat dilihat dari konstitusi negara tersebut sebagai hasil dari perjanjian masyarakat dan merupakan hukum dasar negara.
Konstitusi, menurut C.F. Strong, adalah “a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two adjusted.” Dalam sebuah konstitusi dapat ditemukan tiga hal pokok, yaitu “first, how the various agencies are organized; secondly, what power is entrusted to those agencies; and thirdly, in what manner such power is to be exercised.”[xxiv]
Dari uraian di atas, salah satu dari materi muatan konstitusi adalah prinsip dasar penyelenggaraan negara oleh organ negara. Termasuk didalamnya tentang organ negara, kewenangannya, hubungan antar lembaga negara, dan hubungannya dengan warga negara yang dijamin hak-hak asasinya. Hal ini sesungguhnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara, yang kemudian dikenal dengan istilah konstitusionalisme. Strong menyatakan bahwa:
“The object of a constitution, in short, are to limit the arbitrary action of government, to guarantee the rights of the governed, and to define the operation of the sovereign power.”[xxv]
Salah satu ciri Negara-negara demokrasi modern terkait dengan upaya pembatasan kekuasaan adalah dianutnya pemisahan kekuasaan. Hal ini sekaligus membedakan negara demokrasi dengan negara monarki. Terdapat beberapa teori pemisahan kekuasaan, diantaranya adalah yang dikemukakan oleh Aristoteles, John Locke, dan Montesqiue yang kemudian disempurnakan oleh Immanuel Kant. Diantara beberapa teori tersebut, yang paling banyak dipakai dan sesuai dengan kondisi negara-negara modern adalah teori Montesqiue yang membagi fungsi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pandangan Montesqiue tentang pemisahan kekuasaan adalah sebagai berikut:[xxvi]
“In every government there are three sorts of power: the legislatif; the executive in respect to things dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that depend on the civil law. By virtue of the first, the prince or magistrate enact temporary or prepertual laws, and amends or abrogates those that have been already enacted. By the second, he makes peace or war, sends or receives embassies, establishes the public security, and provides agaist invasions. By the third, he punishes criminal, or determines the disputes that arise between individuals. The latter we shall call the judiciary power, and the other simply the executive power of state.”
Ketiga kekuasaan tersebut harus dipegang oleh organ negara yang berbeda demi terpenuhinya kebebasan politik. Montesquieu menyatakan:[xxvii]
“In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another. When legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehension may arise, lest the same monarch or senate should enact tyrannical laws, to execute them in a tyrannic manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power not be separated from legislative and executive.”
Setelah dilakukan perubahan UUD 1945 hingga empat kali, terdapat organ negara yang dihapuskan dan ada organ-organ negara yang baru. Organ negara yang dihapuskan adalah DPA. Sedangkan organ negara baru yang dibentuk adalah Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Dewan Perwakilan Daerah. Beberapa organ juga disebutkan dalam UUD 1945 hasil perubahan walaupun secara tidak tegas, yaitu komisi pemilihan umum dan badan penasehat presiden. Selain itu juga terjadi pemisahan fungsi yaitu fungsi pertahanan nasional yang dilaksanakan oleh TNI disamping fungsi kepolisian yang dilaksanakan oleh POLRI.
Asshiddiqie mengemukakan bahwa bentuk keorganisasian negara-negara modern telah banyak mengalami perubahan yang juga terjadi di Indonesia. Perubahan-perubahan organisasi kelembagaan negara tersebut terdiri dari dua hal, yaitu; pertama, muncul kesadaran yang semakin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi militer, Kepolisian, Kejaksaan, dan Bank Sentral harus dikembangkan secara independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepetingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Untuk kasus Indonesia, yang telah menikmati independensi adalah Militer TNI, Kepolisian Negara (POLRI), dan Bank Indonesia sebagai Bank Central.[xxviii]
Kedua, muncul perkembangan berkenaan dengan kasus-kasus khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lain berdasarkan suatu Undang-Undang. Bahkan terdapat Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk dengan Keputusan Presiden. Komisi-komisi tersebut selalu diidealkan bersifat independent dan menjalankan fungsi-fungsi secara campuran, antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di banyak negara juga muncul istilah “independent and self regulatory bodies”, yang di Amerika Serikat misalnya terdapat lebih dari 30 jumlahnya.
Setiap organ negara memiliki kewenangan tertentu secara terbatas sebagaimana biasanya disebutkan dalam landasan hukum berdirinya organ negara tersebut. Hal ini merupakan wujud dari pembatasan kekuasaan dalam negara demokrasi. Kewenangan adalah hak, kewajiban, dan fungsi yang dimiliki oleh suatu organ negara berdasarkan aturan hukum yang berlaku untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Kewenangan dalam bahasa Inggris disebut dengan authority yang berarti “the rights or permission to act legally on another’s behalf; the power delegated by a principal to an agent.”[xxix]
Militer Dan Struktur Ketatanegaraan
Militer sebagai kata sifat menunjuk pada sesuatu yang terkait dengan kekuatan bersenjata (armed forces) atau berkaitan dengan peperangan. Sebagai kata benda, militer adalah kekuatan bersenjata. Jadi militer adalah organ yang di dalamnya meliputi penggunaan senjata. Dalam konteks kenegaraan militer adalah organ yang dibentuk untuk menjalankan fungsi pertahanan dan peperangan.[xxx]
Locke mengemukakan bahwa kekuasaan untuk membuat perdamaian dan perang, membentuk liga dan aliansi merupakan wilayah kekuasaan federatif berdasarkan arahan kekuasaan legislatif untuk mempertahankan komunitas dan anggotanya.[xxxi] Sedangkan Montesqiue meletakkan fungsi pertahanan dalam wilayah kekuasaan eksekutif. Montesqiue menyatakan “By the second, he makes peace or war, sends or receives embassies, establishes the public security, and provides agaist invasions.”[xxxii]
Perkembangan organisasi negara di masa modern mengarah menjadi semakin terdistribusi ke banyak organ. Berbagai lembaga dibentuk dengan kewenangan khusus di suatu masalah namun meliputi aspek-aspek kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Perkembangan ide konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan juga mengarah pada adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat independent. Independensi ini untuk menjaga agar fungsi suatu organisasi tidak disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Militer misalnya, karena memiliki otoritas memegang senjata, dapat digunakan untuk menumpang aspirasi pro-demokrasi. Maka militer merupakan salah satu organisasi yang pengaturannya mengarah lebih independen.[xxxiii]
Di negara-negara demokrasi modern, baik struktur militer maupun sipil selalu berorientasi sipil karena keduanya tergantung dari dan bertanggungjawab kepada organisasi politik negara dan harus memperoleh dukungannya. Struktur politik dan organisasi militer berdiri sendiri berdasarkan persetujuan masyarakat politik, yaitu warga negara.[xxxiv] Namun demikian, masa depan hubungan sipil-militer di negara demokrasi akan tergantung pada tindakan pemimpin sipil. Masalah kemungkinan muncul pada negara yang pemimpinnya tidak mampu untuk meningkatkan perkembangan ekonomi dan memelihara ketertiban dan hukum. Di negara-negara tersebut, politisi dapat tergoda untuk menggunakan militer dalam menyelesaikan berbagai persoalan, bahkan demi ambisi politik mereka.[xxxv]
Masalah lain yang menjadi pertimbangan penempatan militer dalam struktur ketatanegaraan adalah perkembangan organ militer yang tidak hanya mematuhi perintah untuk dapat melaksanakan fungsi pertahanan. Tanggungjawab organ militer terhadap negara meliputi tiga fungsi, yaitu fungsi representatif, fungsi penasihat, dan fungsi eksekutif.[xxxvi]
Fungsi representatif adalah mewakili tuntutan keamanan negara terkait dengan kemampuan yang dibutuhkan. Militer harus memastikan bahwa negara mengetahui informasi tentang batas minimal kekuatan militer yang harus dimiliki di tengah-tengah kemampuan negara lain. Militer memiliki hak dan tugas untuk mengemukakan pandangannya tentang masalah ini kepada lembaga negara, terutama eksekutif dan legislatif, karena terkait dengan kebijakan distribusi sumber daya negara yang proporsional antara kepentingan militer dengan kepentingan lain.[xxxvii]
Fungsi penasihat adalah fungsi untuk menganalisis dan melaporkan implikasi dari kebijakan dan tindakan negara di bidang lain dari sudut pandang kemiliteran. Disebut sebagai fungsi penasihat karena militer hanya memberikan pertimbangan dari satu sudut pandang, yaitu sudut pandang kepentingan masalah kemiliteran. Sedangkan keputusan kenegaraan dibuat tidak hanya didasarkan pada satu pertimbangan tertentu, tetapi dari berbagai sudut pandang kepentingan negara. Fungsi eksekutif adalah melaksanakan keputusan-keputusan negara dalam hal kemiliteran bahkan jika keputusan tersebut bertentangan dengan pertimbangan militer sendiri.[xxxviii]
Prinsip pemisahan kekuasaan dan kecenderungan bervariasinya organ-organ negara serta tanggung jawab militer terhadap negara yang diterjemahkan dalam tiga fungsi sebagaimana diuraikan di atas adalah kecenderungan yang mempengaruhi kedudukan militer dalam struktur ketatanegaraan di negara-negara hukum yang demokratis. Secara umum kedudukan militer dalam struktur ketatanegaraan dapat dilihat dari tingkatan otoritas sebagai posisi yang diduduki oleh organ tertentu dalam hierarki otoritas pemerintahan. Tentu saja hierarki tersebut tersusun dalam suatu hubungan yang formal maupun informal, namun secara hukum yang harus dianalisis terlebih dahulu adalah hierarki otoritas pemerintahan secara formal.
Huntington membedakan tiga tingkatan otoritas militer dalam pemerintahan. Pertama, Militer memiliki otoritas maksimal pada saat berada pada puncak hierarki sedangkan institusi pemerintah lainnya berada di bawahnya.[xxxix] Pemimpin militer menjalankan kedaulatan kekuasaan militer. Negara dengan struktur semacam ini oleh Plato disebut dengan tymokrasi sebagai bentuk pemerosotan, sedangkan di era modern dikenal dengan istilah “autocracy” atau despotisme. Semua tata hukum di semua tingkatan dibuat oleh penguasa secara langsung atau oleh organ yang ditunjukkan. Penguasa tidak berada di bawah hukum sehingga tidak dapat dikenai pertanggungjawaban berupa sanksi.[xl] Dalam pemerintahan militer semua fungsi publik dalam negara dan pelaksanaan fungsi pemerintahan dikontrol oleh aparat militer.[xli]
Pemerintahan dengan militer sebagai puncak otoritas dapat terjadi baik melalui ketentuan konstitusional maupun melalui praktek kenegaraan yang tidak sesuai dengan konstitusi. Dalam bentuk konstitusional, model pemerintahan militer dapat dilihat pada konstitusi Junta Militer di Chile. Ketentuan peralihan poin keempatbelas konstitusi Chile menyatakan bahwa pemerintahan dilaksanakan oleh presiden Jenderal Augusto Pinochet dan pemerintah Junta. Pemerintah Junta terdiri dari Komandan Angkatan Darat, Komandan Angkatan Laut, Komandan Angkatan Udara, dan Direktur Jenderal Kepolisian. Pemerintah Junta memiliki kewenangan:[xlii]
a. Exercise the Constituent Power, being always subject to approval by plebiscite, to be held
in compliance with the rules prescribed by law;
b. Exercise the Legislative Power;
c. Issue laws concerning interpretation of the Constitution, whenever necessary;
d. Approve or reject international treaties, prior to presidential ratification thereof;
e. Grant its agreement to the President of the Republic in the cases specified in letter B of the fifteenth transitory provision;
f. Grant its agreement to the President of the Republic in order to decree states of assembly and of siege, as the case may be;
g. Permit the entry of foreign troops into the territory of the Republic as well as authorize departure of national troops from the country;
h. Take cognizance of disputes regarding competence which should arise between political or administrative authorities and the Higher Courts of Justice;
i. Grant recovery of citizenship in the cases referred to in No 2, Article 17, of this Constitution;
j. Declare, in case of dernission of the President of the Republic or the Commanders-in-Chief of the Armed Forces and of the Director, General of the Armed Police, whether or not the reasons therefor are wellfounded, and, consequently, accept or reject such demissions, and
k. Other powers conferred thereupon by other transitory provisions of this Constitution.
Konstitusi Libya tahun 1969 Artikel 18 menyatakan bahwa Dewan Komando Revolusioner (The Revolutionary Command Council) memiliki otoritas tertinggi di Libya. Dewan inilah yang melaksanakan kedaulatan, dan membuat hukum atas nama rakyat. Dewan ini pula yang memilih presiden dan dewan menteri.[xliii] Struktur yang menempatkan militer pada otoritas tertinggi tidak dapat lain melahirkan kontrol militer dalam hubungan sipil-militer. [xliv]
Struktur model kedua adalah militer menjadi bawahan satu institusi yang memiliki otoritas atas militer. Di bawah puncak struktur, terdapat dua struktur otoritas yang sejajar; satu militer dan satu sipil sehingga militer benar-benar independen.[xlv] Di negara-negara Amerika Latin, kecuali Argentina, militer merupakan organ mandiri yang sejajar dengan organ negara lain di bawah puncak otoritas kekuasaan. Departemen Pertahanan hanya menangani urusan manajemen personel, dukungan logistik, dan pelayanan kebutuhan dasar militer, bukan kebijakan pertahanan dan kemiliteran.[xlvi] Di Philippina, militer berada langsung di bawah presiden yang dapat dilihat dari ketentuan Article VII Sec. 18 dan Article XVI Sec. 5.
Kontrol militer Inggris merupakan bagian dari prerogatif kerajaan. Pada awalnya terdapat perbedaan antara angkatan laut dan angkatan darat. Angkatan laut pada awalnya terbentuk dengan kekuasaan prerogatif kerajaan untuk mempertahankan keberadaannya. Sedangkan angkatan darat terbentuk dari pemilik tanah feodal (landlords) termasuk ratu untuk mempertahankan kepentingannya. Pada akhirnya penunjukkan pejabat militer dan pembangunan angkatan bersenjatan merupakan bagian dari prerogatif pihak kerajaan karena masalah pertahanan adalah merupakan kekuasaan prerogatif. Namun demikian berdasarkan Armed Forces Act 1981 keberadaan dan pembentukan militer membutuhkan persetujuan parlemen.[xlvii]
Model kedua tersebut cenderung melahirkan kontrol sipil dalam hubungan sipil-militer. Namun kontrol sipil tersebut apabila dilakukan semata-mata dengan memaksimalkan kekuasaan kelompok sipil atas militer dan campur tangan yang terlalu dalam serta menyeretnya ke wilayah politik kepentingan subyektif akan mengakibatkan militer menjadi tidak profesional sehingga kontrol sipil yang terjadi adalah kontrol sipil subyektif.[xlviii]
Model ketiga adalah militer berada satu tingkat di bawah institusi lain namun memiliki akses langsung ke kekuasaan tertinggi. Subordinasi ini pada umumnya tidak lakukan terlalu jauh dan biasanya satu tingkat otoritas dicampurbaur antara korps perwira dan pemerintahan kementerian sipil. Model ini dapat dilihat di India dan Malaysia. Di India kementerian pertahanan terdiri dari empat departemen yaitu departemen pertahanan, departemen produksi pertahanan, departemen riset dan pengembangan, dan departemen pelayanan kesejahteraan. Fungsi utama masing-masing departemen tersebut adalah:[xlix]
a. The Department of Defence deals with the Integrated Defence Staff (IDS) and three Services and various Inter-Service Organisations. It is also responsible for the Defence Budget, establishment matters, defence policy, matters relating to Parliament, defence co-operation with foreign countries and co-ordination of all activities.
b. The Departement of Defence Production is headed by a Secretary and deals with matters pertaining to defence production, indigenisation of imported stores, equipment and spares, planning and control of departmental production units of the Ordnance Factory Board and for Defence Public Sector Undertakings (DPSUs).
c. The Departement of Defence Research and Development is headed by a Secretary, who is also the Scientific Adviser to the Raksha Mantri. Its function is to advise the Government on scientific aspects of military equipment and logistics and the formulation of research, design and development plans for equipment used by the Services.
d. The Department of Ex-Servicemen Welfare is headed by an Additional Secretary and deals with all re-settlement, welfare and pensionary matters of Ex-Servicemen.
e. The Finance Division of the Ministry is headed by Secretary Defence (Finance). He exercises financial control over proposals involving expenditure from the Defence Budget and is responsible for internal audit and accounting of defence expenditure. In the latter tasks, he is assisted by the Controller General of Defence Accounts (CGDA).
Situs resmi kementerian pertahanan Malaysia secara jelas menggambarkan dalam sebuah bagan yang menunjukkan bahwa kedudukan Panglima Angkatan Tentera berada di bawah menteri pertahanan. Hal ini juga dapat dilihat dari konstitusi Malaysia pada Article 137 sebagai berikut:
(1) There shall be an Armed Forces Council, which shall be responsible under the general authority of the Yang di-Pertuan Agong for the command, disciplne and administration of, and all other matters relating to, the armed forces, other than matters relating to their operatonial use.
(2) Clause (1) has effect subject to the provisions od any federal law, and any such law may provide for the
b. Exercise the Legislative Power;
c. Issue laws concerning interpretation of the Constitution, whenever necessary;
d. Approve or reject international treaties, prior to presidential ratification thereof;
e. Grant its agreement to the President of the Republic in the cases specified in letter B of the fifteenth transitory provision;
f. Grant its agreement to the President of the Republic in order to decree states of assembly and of siege, as the case may be;
g. Permit the entry of foreign troops into the territory of the Republic as well as authorize departure of national troops from the country;
h. Take cognizance of disputes regarding competence which should arise between political or administrative authorities and the Higher Courts of Justice;
i. Grant recovery of citizenship in the cases referred to in No 2, Article 17, of this Constitution;
j. Declare, in case of dernission of the President of the Republic or the Commanders-in-Chief of the Armed Forces and of the Director, General of the Armed Police, whether or not the reasons therefor are wellfounded, and, consequently, accept or reject such demissions, and
k. Other powers conferred thereupon by other transitory provisions of this Constitution.
Konstitusi Libya tahun 1969 Artikel 18 menyatakan bahwa Dewan Komando Revolusioner (The Revolutionary Command Council) memiliki otoritas tertinggi di Libya. Dewan inilah yang melaksanakan kedaulatan, dan membuat hukum atas nama rakyat. Dewan ini pula yang memilih presiden dan dewan menteri.[xliii] Struktur yang menempatkan militer pada otoritas tertinggi tidak dapat lain melahirkan kontrol militer dalam hubungan sipil-militer. [xliv]
Struktur model kedua adalah militer menjadi bawahan satu institusi yang memiliki otoritas atas militer. Di bawah puncak struktur, terdapat dua struktur otoritas yang sejajar; satu militer dan satu sipil sehingga militer benar-benar independen.[xlv] Di negara-negara Amerika Latin, kecuali Argentina, militer merupakan organ mandiri yang sejajar dengan organ negara lain di bawah puncak otoritas kekuasaan. Departemen Pertahanan hanya menangani urusan manajemen personel, dukungan logistik, dan pelayanan kebutuhan dasar militer, bukan kebijakan pertahanan dan kemiliteran.[xlvi] Di Philippina, militer berada langsung di bawah presiden yang dapat dilihat dari ketentuan Article VII Sec. 18 dan Article XVI Sec. 5.
Kontrol militer Inggris merupakan bagian dari prerogatif kerajaan. Pada awalnya terdapat perbedaan antara angkatan laut dan angkatan darat. Angkatan laut pada awalnya terbentuk dengan kekuasaan prerogatif kerajaan untuk mempertahankan keberadaannya. Sedangkan angkatan darat terbentuk dari pemilik tanah feodal (landlords) termasuk ratu untuk mempertahankan kepentingannya. Pada akhirnya penunjukkan pejabat militer dan pembangunan angkatan bersenjatan merupakan bagian dari prerogatif pihak kerajaan karena masalah pertahanan adalah merupakan kekuasaan prerogatif. Namun demikian berdasarkan Armed Forces Act 1981 keberadaan dan pembentukan militer membutuhkan persetujuan parlemen.[xlvii]
Model kedua tersebut cenderung melahirkan kontrol sipil dalam hubungan sipil-militer. Namun kontrol sipil tersebut apabila dilakukan semata-mata dengan memaksimalkan kekuasaan kelompok sipil atas militer dan campur tangan yang terlalu dalam serta menyeretnya ke wilayah politik kepentingan subyektif akan mengakibatkan militer menjadi tidak profesional sehingga kontrol sipil yang terjadi adalah kontrol sipil subyektif.[xlviii]
Model ketiga adalah militer berada satu tingkat di bawah institusi lain namun memiliki akses langsung ke kekuasaan tertinggi. Subordinasi ini pada umumnya tidak lakukan terlalu jauh dan biasanya satu tingkat otoritas dicampurbaur antara korps perwira dan pemerintahan kementerian sipil. Model ini dapat dilihat di India dan Malaysia. Di India kementerian pertahanan terdiri dari empat departemen yaitu departemen pertahanan, departemen produksi pertahanan, departemen riset dan pengembangan, dan departemen pelayanan kesejahteraan. Fungsi utama masing-masing departemen tersebut adalah:[xlix]
a. The Department of Defence deals with the Integrated Defence Staff (IDS) and three Services and various Inter-Service Organisations. It is also responsible for the Defence Budget, establishment matters, defence policy, matters relating to Parliament, defence co-operation with foreign countries and co-ordination of all activities.
b. The Departement of Defence Production is headed by a Secretary and deals with matters pertaining to defence production, indigenisation of imported stores, equipment and spares, planning and control of departmental production units of the Ordnance Factory Board and for Defence Public Sector Undertakings (DPSUs).
c. The Departement of Defence Research and Development is headed by a Secretary, who is also the Scientific Adviser to the Raksha Mantri. Its function is to advise the Government on scientific aspects of military equipment and logistics and the formulation of research, design and development plans for equipment used by the Services.
d. The Department of Ex-Servicemen Welfare is headed by an Additional Secretary and deals with all re-settlement, welfare and pensionary matters of Ex-Servicemen.
e. The Finance Division of the Ministry is headed by Secretary Defence (Finance). He exercises financial control over proposals involving expenditure from the Defence Budget and is responsible for internal audit and accounting of defence expenditure. In the latter tasks, he is assisted by the Controller General of Defence Accounts (CGDA).
Situs resmi kementerian pertahanan Malaysia secara jelas menggambarkan dalam sebuah bagan yang menunjukkan bahwa kedudukan Panglima Angkatan Tentera berada di bawah menteri pertahanan. Hal ini juga dapat dilihat dari konstitusi Malaysia pada Article 137 sebagai berikut:
(1) There shall be an Armed Forces Council, which shall be responsible under the general authority of the Yang di-Pertuan Agong for the command, disciplne and administration of, and all other matters relating to, the armed forces, other than matters relating to their operatonial use.
(2) Clause (1) has effect subject to the provisions od any federal law, and any such law may provide for the
vesting in the Armed Forces Council of any functions with respect to the armed forces.
(3) The Armed Forces Council shall consist of the following members, that is to say -
a) the Minister for the time being charged with responsibility for defence, who shall be Chairman;
b) one member representing Their Royal Highnesses, who shall be appointed by the Conference of Rulers;
c) the Chief of the Armed Forces Staff who shall be appointed by the Yang di-Pertuan Agong;
d) a civilian member, being the person performing the duties of the office of Secretary general for Defence, who shall act as Secretary to the Council;
e) two senior staff officers of the Federation Armed Forces, appointed by the Yang di-Pertuan Agong;
f) a senior officer of the Federation Navy, appointed by the Yang di-Pertuan Agong;
g) a senior officer for the Federation Air Force, appointed by the Yang di-Pertuan Agong;
h) two, if any, additional members, whether military or civilian, appointed by the Yang di-Pertuan Agong.
(4) The Armed Forces Council may act notwithstanding a vacancy in its membership and may, subject to
(3) The Armed Forces Council shall consist of the following members, that is to say -
a) the Minister for the time being charged with responsibility for defence, who shall be Chairman;
b) one member representing Their Royal Highnesses, who shall be appointed by the Conference of Rulers;
c) the Chief of the Armed Forces Staff who shall be appointed by the Yang di-Pertuan Agong;
d) a civilian member, being the person performing the duties of the office of Secretary general for Defence, who shall act as Secretary to the Council;
e) two senior staff officers of the Federation Armed Forces, appointed by the Yang di-Pertuan Agong;
f) a senior officer of the Federation Navy, appointed by the Yang di-Pertuan Agong;
g) a senior officer for the Federation Air Force, appointed by the Yang di-Pertuan Agong;
h) two, if any, additional members, whether military or civilian, appointed by the Yang di-Pertuan Agong.
(4) The Armed Forces Council may act notwithstanding a vacancy in its membership and may, subject to
this Constitution and to federal law, provide for all or any of the following matters:
a) the organization of its work and the manner in which its functions are to be performed, and the keeping of records and minutes;
b) the duties and responsibilities of the several members of the Council, including the delegation to any
a) the organization of its work and the manner in which its functions are to be performed, and the keeping of records and minutes;
b) the duties and responsibilities of the several members of the Council, including the delegation to any
member of the Council of any of its powers or duties;
c) the consultation by the Council with persons other than its members;
d) the procedure to be followed by the Council in conducting its business (including the fixing of a quorum), the appointment, at its option, of a vice-chairman from among its members, and the functions of the vice-chairman;
e) any other matters for which the Council considers it necessary or expedient to provide for the better
c) the consultation by the Council with persons other than its members;
d) the procedure to be followed by the Council in conducting its business (including the fixing of a quorum), the appointment, at its option, of a vice-chairman from among its members, and the functions of the vice-chairman;
e) any other matters for which the Council considers it necessary or expedient to provide for the better
performance of its functions.
Struktur yang menempatkan militer berada satu tingkat di bawah institusi tertentu dengan akses langsung pada otoritas akhir tersebut dipandang oleh Huntington paling sesuai dengan pemikiran pemisahan militer dan kontrol sipil obyektif yang memaksimalkan profesionalisme militer. Kontrol sipil obyektif dan profesionalisme dicapai dengan memperhatikan faktor-faktor keamana militer dan membatasi perannya hanya di bidang militer. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan secara institusional yang bersifat netral dan diketahui oleh semua kelompok sosial.[l]
Struktur yang menempatkan militer berada satu tingkat di bawah institusi tertentu dengan akses langsung pada otoritas akhir tersebut dipandang oleh Huntington paling sesuai dengan pemikiran pemisahan militer dan kontrol sipil obyektif yang memaksimalkan profesionalisme militer. Kontrol sipil obyektif dan profesionalisme dicapai dengan memperhatikan faktor-faktor keamana militer dan membatasi perannya hanya di bidang militer. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan secara institusional yang bersifat netral dan diketahui oleh semua kelompok sosial.[l]
DAFTAR PUSTAKA
Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative Law. London: MacMillan Education Ltd, 1989.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Diamond, Larry & Marc F. Plattner (ed.). Hubungan Sipil – Militer & Konsolidasi Demokrasi. Judul Asli: Civil military relations and democracy. Penerjemah: Tri Wibowo Budi Santoso. Cetakan Kedua. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Garner, Bryan A. at al. (ed.). Black Law Dictionary. Seventh Edition. St. Paul: West Group, 1999.
Huntington, Samuel P. Prajurit Dan Negara; Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil. Judul asli: The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Penerjemah: Deasy Sinaga. Jakarta: Grasindo, 2003.
Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Bina Cipta, 1966.
Kelsen, Hans. General Theory of Law And State. Translated by Anders Wedberg. New York: Russel & Russel, 1961.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1989.
Kusnadi, Moh. dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Laski, H.J. A Grammar of Politics. Eleventh Impression. London: George Allen & Unwin Ltd., 1951.
Locke, John. Two Treaties of Government. London: McMaster University Archive, 182
Logeman, J.H.A. Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif. Judul Asli: Over de theorie van een stellig staatsrecht. Penerjemah: Makkatutu dan J.C. Pangkerego. Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1975.
Lubis, Solly. Ilmu Negara. Cetakan ke-IV. Bandung: Mandar Maju, 1990.
MacIver. The Modern State. First Edition. London: Oxford University Press, 1955.
Montesquieu. The Spirit Of Laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd., 1752.
Perlmutter, Amos. Militer dan Politik. Judul Asli: The Military and Politics and Modern Times. Penerjemah: Sahat Simamora. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Tata Negara. Cetakan Keenam. Jakarta: PT Dian Rakyat, 1989.
Sabine, George H. A History of Political Theory. Third Edition. New York – Chicago – San Fransisco – Toronto – London: Holt, Rinehart and Winston, 1961.
Strong, C.F. Modern Political Constitutions. E.L.B.S. Edition First Published. London: The English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, 1966.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional & Administrative Law. Third Edition. London: Blackstone Press Limited, 1997.
Wahjono, Padmo. Negara Republik Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1982.
Alder, John and Peter English. Constitutional and Administrative Law. London: MacMillan Education Ltd, 1989.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Diamond, Larry & Marc F. Plattner (ed.). Hubungan Sipil – Militer & Konsolidasi Demokrasi. Judul Asli: Civil military relations and democracy. Penerjemah: Tri Wibowo Budi Santoso. Cetakan Kedua. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Garner, Bryan A. at al. (ed.). Black Law Dictionary. Seventh Edition. St. Paul: West Group, 1999.
Huntington, Samuel P. Prajurit Dan Negara; Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil. Judul asli: The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Penerjemah: Deasy Sinaga. Jakarta: Grasindo, 2003.
Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Bina Cipta, 1966.
Kelsen, Hans. General Theory of Law And State. Translated by Anders Wedberg. New York: Russel & Russel, 1961.
Kranenburg, R. dan Tk. B. Sabaroedin. Ilmu Negara Umum. Cetakan Kesebelas. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1989.
Kusnadi, Moh. dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Laski, H.J. A Grammar of Politics. Eleventh Impression. London: George Allen & Unwin Ltd., 1951.
Locke, John. Two Treaties of Government. London: McMaster University Archive, 182
Logeman, J.H.A. Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif. Judul Asli: Over de theorie van een stellig staatsrecht. Penerjemah: Makkatutu dan J.C. Pangkerego. Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1975.
Lubis, Solly. Ilmu Negara. Cetakan ke-IV. Bandung: Mandar Maju, 1990.
MacIver. The Modern State. First Edition. London: Oxford University Press, 1955.
Montesquieu. The Spirit Of Laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell & Sons, Ltd., 1752.
Perlmutter, Amos. Militer dan Politik. Judul Asli: The Military and Politics and Modern Times. Penerjemah: Sahat Simamora. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Tata Negara. Cetakan Keenam. Jakarta: PT Dian Rakyat, 1989.
Sabine, George H. A History of Political Theory. Third Edition. New York – Chicago – San Fransisco – Toronto – London: Holt, Rinehart and Winston, 1961.
Strong, C.F. Modern Political Constitutions. E.L.B.S. Edition First Published. London: The English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, 1966.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional & Administrative Law. Third Edition. London: Blackstone Press Limited, 1997.
Wahjono, Padmo. Negara Republik Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali, 1982.
End Note:
[i] Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
[ii] Hans Kelsen, General Theory of Law And State, Translated by Anders Wedberg, (New York: Russel & Russel, 1961), hal. 184; C.F. Strong menyatakan bahwa “the state exist for society and not society for the state.” C.F. Strong, Modern Political Constitutions, E.L.B.S. Edition, First Published, (London: The English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, 1966), hal. 5.
[iii] MacIver, The Modern State, First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), hal. 22; Strong, Op Cit., hal. 5; Kelsen, Op Cit., hal. 181; J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Judul Asli: Over de theorie van een stellig staatsrecht, Penerjemah: Makkatutu dan J.C. Pangkerego, (Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1975), hal. 95.
[iv] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Cetakan k-2, (Bandung; PT. Eresco Jakarta, 1981), hal. 13.
[v] George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York – Chicago – San Fransisco – Toronto – London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 35-86. Bandingkan dengan F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung; Bina Cipta, 1966), hal. 164.
[vi] Sabine, Op Cit., hal. 88-105. Isjwara, Op Cit., hal. 164-165.
[vii] R. Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1989), hal. 65; Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 76.
[viii] H.J. Laski, A Grammar of Politics, Eleventh Impression, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1951), hal. 16-29; MacIver, Op Cit., hal. 7-8.
[ix] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Keduapuluhlima, (Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 45.
[x] Isjwara, Op Cit., hal. 174-176.
[xi] Brian Thomson, Textbook on Constitutional & Administrative Law, Third edition, (London; Blackstone Press Limited, 1993), hal. 13-15.
[xii] Bunyi pembukaan selengkapnya adalah “We, the representatives of the brazilian People, asembled in the National Constituent Assembly to institute a Democratic State for the purpose of ensuring the exercise of social and individual rights, liberty, security, well being, development, equality and justice as supreme values of a fraternal, pluralist and unprejudiced society, based on social harmony and committed, in the internal and international spheres, to the peaceful solution of disputes, promulgate, under the protection of God, this Constitution of the Federative Republic of Brazil.” Brazil Constitution, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/br-cons.html, 1/8/2005.
[xiii] France Constitution, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/fr-cons.html, 1/8/2005.
[xiv] Bunyi pembukaan selengkapnya adalah “We, the representatives of the people of the Argentine Nation, gathered in General Constituent Assembly by the will and election of the Provinces which compose it, in fulfillment of pre-existing pacts, in order to form a national union, guarantee justice, secure domestic peace, provide for the common defense, promote the general welfare and secure the blessings of liberty to ourselves, to our posterity, and to all men of the world who wish to dwell on argentine soil: invoking the protection of God, source of all reason and justice: do ordain, decree, and establish this Constitution for the Argentine Nation. Argentina Constitution, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/arg-cons.html, 1/8/2005.
[xv] Bunyi pembukaan selengkapnya adalah: “We, the sovereign Filipino people, imploring the aid of Almighty God, in order to build a just and humane society and establish a Government that shall embody our ideals and aspirations, promote the common good, conserve and develop our patrimony, and secure to ourselves and our posterity the blessings of independence and democracy under the rule of law and a regime of truth, justice, freedom, love, equality, and peace, do ordain and promulgate this Constitution.” The 1987 Constitution Of The Republic Of The Philippines.
[xvi] Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, (Jakarta; CV. Rajawali, 1982), hal. 12.
[xvii] John Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Lihat John Locke, Two Treaties of Government, (London: McMaster University Archive, 1823), hal. 112 dan 168.
[xviii] Solly Lubis, Ilmu Negara, Cetakan, ke-IV, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 1.
[xix] Kranenburg dan Sabaroedin, Op Cit., hal. 79.
[xx] Lubis, Op Cit., hal. 2.
[xxi] Ibid, hal. 4.
[xxii] Kelsen, Op Cit., hal., 192 –195.
[xxiii] Laski, Op Cit., hal., 371.
[xxiv] Strong, Op Cit., hal. 11 – 12.
[xxv] Ibid, hal. 12.
[xxvi] Montesquieu, The Spirit Of Laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd., 1752), Book XI – 6.
[xxvii] Ibid.
[xxviii] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 184.
[xxix] Bryan A. Garner at al. (ed.), Black Law Dictionary, Seventh Edition, (St. Paul: West Group, 1999), hal. 127.
[xxx] Ibid, hal. 103 dan 1007.
[xxxi] Locke, Op Cit., hal. 167-168.
[xxxii] Montesquieu, Op Cit.
[xxxiii] Asshiddiqie, Op Cit., hal. 126 dan 184.
[xxxiv] Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Judul Asli: The Military and Politics and Modern Times, Penerjemah: Sahat Simamora, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 29.
[xxxv] Larry Diamond & Marc F. Plattner (eds.), Hubungan Sipil – Militer & Konsolidasi Demokrasi, Judul Asli: Civil military relations and democracy, Penerjemah: Tri Wibowo Budi Santoso, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. XV-XVI.
[xxxvi] Samuel P. Huntington, Prajurit Dan Negara; Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil, Judul asli: The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, Penerjemah: Deasy Sinaga, (Jakarta: Grasindo, 2003), hal. 78
[xxxvii] Ibid.
[xxxviii] Ibid.
[xxxix] Ibid., hal 94-95.
[xl] Kelsen, Op Cit., hal. 300.
[xli] The control of all most public functions within a country, or the assumption and exercise of governmental functions, by military forces of individual member of those forces; government exercised by a military commander under the direction of the executive or sovereign, either externally during a foreign war or internally during a civil war. A military government’s actions supersede all local law. Garner at al. (eds), Op Cit., hal. 1007.
[xlii] Transitory Provision Constitution of the Republic of Chile.
[xliii] Article 18 [Revolutionary Command Council] Libya Constitution “The Revolutionary Command Council constitutes the supreme authority in the Libyan Arab Republic. It will exercise the powers attached to national sovereignty, promulgate laws and decrees, decide in the name of the people the general policy of the State, and make all decisions it deems necessary for the protection of the Revolution and the regime.” Article 19 (1) [President, Council of Ministers] “The Revolutionary Command Council appoints the President and the Council of Ministers. It may appoint deputies for the Prime Minister and Ministers without portfolio. It may discharge the Premier and Ministers and accept their resignation. But the resignation of the Premier carries with it the resignation of all Ministers.”
[xliv] Huntington, Op Cit., hal. 87.
[xlv] Ibid., hal. 95.
[xlvi] Yulianto, Op Cit., hal. 112-113.
[xlvii] John Alder and Peter English, Constitutional and Administrative Law, (London; MacMillan Education Ltd, 1989), hal. 220. Hood Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Constitutional and Administrative Law, Eighth Edition, (London; Sweet & Maxwell, 2001), hal. 386-387.
[xlviii] Huntington, Op Cit., hal. 87-89.
[xlix] Ministry of Defence, Govt of India, http://mod.nic.in/aboutus/body.htm#as3, 7/08/2005.
[l] Huntington, Op Cit., hal. 87-95. Kontrol sipil obyektif dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme militer jika militer tidak memiliki potensi intervensionis. Sedangkan kontrol militer subyektif dilakukan dengan memaksimalkan kontrol sipil karena potensi intervensi militer yang tinggi. Perlmutter, Op Cit., hal. 47-48.
[i] Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
[ii] Hans Kelsen, General Theory of Law And State, Translated by Anders Wedberg, (New York: Russel & Russel, 1961), hal. 184; C.F. Strong menyatakan bahwa “the state exist for society and not society for the state.” C.F. Strong, Modern Political Constitutions, E.L.B.S. Edition, First Published, (London: The English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, 1966), hal. 5.
[iii] MacIver, The Modern State, First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), hal. 22; Strong, Op Cit., hal. 5; Kelsen, Op Cit., hal. 181; J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Judul Asli: Over de theorie van een stellig staatsrecht, Penerjemah: Makkatutu dan J.C. Pangkerego, (Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1975), hal. 95.
[iv] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, Cetakan k-2, (Bandung; PT. Eresco Jakarta, 1981), hal. 13.
[v] George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York – Chicago – San Fransisco – Toronto – London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 35-86. Bandingkan dengan F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung; Bina Cipta, 1966), hal. 164.
[vi] Sabine, Op Cit., hal. 88-105. Isjwara, Op Cit., hal. 164-165.
[vii] R. Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1989), hal. 65; Moh. Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 76.
[viii] H.J. Laski, A Grammar of Politics, Eleventh Impression, (London: George Allen & Unwin Ltd., 1951), hal. 16-29; MacIver, Op Cit., hal. 7-8.
[ix] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Keduapuluhlima, (Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 45.
[x] Isjwara, Op Cit., hal. 174-176.
[xi] Brian Thomson, Textbook on Constitutional & Administrative Law, Third edition, (London; Blackstone Press Limited, 1993), hal. 13-15.
[xii] Bunyi pembukaan selengkapnya adalah “We, the representatives of the brazilian People, asembled in the National Constituent Assembly to institute a Democratic State for the purpose of ensuring the exercise of social and individual rights, liberty, security, well being, development, equality and justice as supreme values of a fraternal, pluralist and unprejudiced society, based on social harmony and committed, in the internal and international spheres, to the peaceful solution of disputes, promulgate, under the protection of God, this Constitution of the Federative Republic of Brazil.” Brazil Constitution, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/br-cons.html, 1/8/2005.
[xiii] France Constitution, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/fr-cons.html, 1/8/2005.
[xiv] Bunyi pembukaan selengkapnya adalah “We, the representatives of the people of the Argentine Nation, gathered in General Constituent Assembly by the will and election of the Provinces which compose it, in fulfillment of pre-existing pacts, in order to form a national union, guarantee justice, secure domestic peace, provide for the common defense, promote the general welfare and secure the blessings of liberty to ourselves, to our posterity, and to all men of the world who wish to dwell on argentine soil: invoking the protection of God, source of all reason and justice: do ordain, decree, and establish this Constitution for the Argentine Nation. Argentina Constitution, http://www.oefre.unibe.ch/law/icl/arg-cons.html, 1/8/2005.
[xv] Bunyi pembukaan selengkapnya adalah: “We, the sovereign Filipino people, imploring the aid of Almighty God, in order to build a just and humane society and establish a Government that shall embody our ideals and aspirations, promote the common good, conserve and develop our patrimony, and secure to ourselves and our posterity the blessings of independence and democracy under the rule of law and a regime of truth, justice, freedom, love, equality, and peace, do ordain and promulgate this Constitution.” The 1987 Constitution Of The Republic Of The Philippines.
[xvi] Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, (Jakarta; CV. Rajawali, 1982), hal. 12.
[xvii] John Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif. Lihat John Locke, Two Treaties of Government, (London: McMaster University Archive, 1823), hal. 112 dan 168.
[xviii] Solly Lubis, Ilmu Negara, Cetakan, ke-IV, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 1.
[xix] Kranenburg dan Sabaroedin, Op Cit., hal. 79.
[xx] Lubis, Op Cit., hal. 2.
[xxi] Ibid, hal. 4.
[xxii] Kelsen, Op Cit., hal., 192 –195.
[xxiii] Laski, Op Cit., hal., 371.
[xxiv] Strong, Op Cit., hal. 11 – 12.
[xxv] Ibid, hal. 12.
[xxvi] Montesquieu, The Spirit Of Laws, Translated by Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd., 1752), Book XI – 6.
[xxvii] Ibid.
[xxviii] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 184.
[xxix] Bryan A. Garner at al. (ed.), Black Law Dictionary, Seventh Edition, (St. Paul: West Group, 1999), hal. 127.
[xxx] Ibid, hal. 103 dan 1007.
[xxxi] Locke, Op Cit., hal. 167-168.
[xxxii] Montesquieu, Op Cit.
[xxxiii] Asshiddiqie, Op Cit., hal. 126 dan 184.
[xxxiv] Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Judul Asli: The Military and Politics and Modern Times, Penerjemah: Sahat Simamora, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 29.
[xxxv] Larry Diamond & Marc F. Plattner (eds.), Hubungan Sipil – Militer & Konsolidasi Demokrasi, Judul Asli: Civil military relations and democracy, Penerjemah: Tri Wibowo Budi Santoso, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. XV-XVI.
[xxxvi] Samuel P. Huntington, Prajurit Dan Negara; Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil, Judul asli: The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, Penerjemah: Deasy Sinaga, (Jakarta: Grasindo, 2003), hal. 78
[xxxvii] Ibid.
[xxxviii] Ibid.
[xxxix] Ibid., hal 94-95.
[xl] Kelsen, Op Cit., hal. 300.
[xli] The control of all most public functions within a country, or the assumption and exercise of governmental functions, by military forces of individual member of those forces; government exercised by a military commander under the direction of the executive or sovereign, either externally during a foreign war or internally during a civil war. A military government’s actions supersede all local law. Garner at al. (eds), Op Cit., hal. 1007.
[xlii] Transitory Provision Constitution of the Republic of Chile.
[xliii] Article 18 [Revolutionary Command Council] Libya Constitution “The Revolutionary Command Council constitutes the supreme authority in the Libyan Arab Republic. It will exercise the powers attached to national sovereignty, promulgate laws and decrees, decide in the name of the people the general policy of the State, and make all decisions it deems necessary for the protection of the Revolution and the regime.” Article 19 (1) [President, Council of Ministers] “The Revolutionary Command Council appoints the President and the Council of Ministers. It may appoint deputies for the Prime Minister and Ministers without portfolio. It may discharge the Premier and Ministers and accept their resignation. But the resignation of the Premier carries with it the resignation of all Ministers.”
[xliv] Huntington, Op Cit., hal. 87.
[xlv] Ibid., hal. 95.
[xlvi] Yulianto, Op Cit., hal. 112-113.
[xlvii] John Alder and Peter English, Constitutional and Administrative Law, (London; MacMillan Education Ltd, 1989), hal. 220. Hood Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Constitutional and Administrative Law, Eighth Edition, (London; Sweet & Maxwell, 2001), hal. 386-387.
[xlviii] Huntington, Op Cit., hal. 87-89.
[xlix] Ministry of Defence, Govt of India, http://mod.nic.in/aboutus/body.htm#as3, 7/08/2005.
[l] Huntington, Op Cit., hal. 87-95. Kontrol sipil obyektif dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme militer jika militer tidak memiliki potensi intervensionis. Sedangkan kontrol militer subyektif dilakukan dengan memaksimalkan kontrol sipil karena potensi intervensi militer yang tinggi. Perlmutter, Op Cit., hal. 47-48.
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)