Sumber: Kompas, 27 Juni 2008

Pembatasan Kebebasan Beragama
Oleh Salahuddin Wahid

Hubungan agama dengan negara merupakan masalah klasik dalam kehidupan negara Indonesia.
Dalam BPUPKI dan Majelis Konstituante, terjadi perdebatan tentang dasar negara, Islam atau Pancasila. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menegaskan, Pancasila menjadi dasar negara.
RUU Perkawinan (1973) memicu kembali perdebatan itu, juga saat membahas RUU Peradilan Agama (1989), RUU Sisdiknas (2003), RUU APP (2005), dan dalam kaitan Ahmadiyah. Pendapat MUI soal Ahmadiyah—dari kacamata agama—perlu dihormati. Namun, saat membahasnya dari sudut pandang negara, perlu disampaikan pendapat berbeda.
Kovenan internasional
Indonesia telah meratifikasi dua instrumen HAM, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekosob (UU No 11/2005) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipol (UU No 12/2005). Dalam pertimbangan hukum kedua UU itu ditegaskan, HAM merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia, universal dan langgeng.
Maka, HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas siapa pun. Juga diakui, instrumen internasional yang diatur dalam ICESCR dan ICCPR tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD.
Hal itu sesuai keberadaan negara hukum Indonesia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, menjamin persamaan kedudukan semua warga negara dalam hukum, dan keinginan untuk memajukan dan melindungi HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua UU itu menjelaskan, ratifikasi dilakukan sesuai UUD yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konsekuensinya, negara wajib menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui kovenan tanpa diskriminasi, termasuk mengambil tindakan legislatif atau lainnya, guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu.
Bahkan, untuk ICCPR, negara yang telah meratifikasi harus segera melaksanakan. Karena itu, salah satu hal penting dalam ICCPR adalah instrumen yang dapat menjamin kepatuhan negara berupa mekanisme pelaporan dan pemantauan yang dilakukan komite dalam Dewan HAM PBB.
Hak dasar
Salah satu hak dan kebebasan dasar yang diatur ICCPR adalah hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama, mencakup kebebasan menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihan sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama, di tempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadah, ketaatan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga mengurangi kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan sesuai pilihannya.
Ketentuan itu sesuai Pasal 28E UUD: tiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai nuraninya. Bahkan, hak kemerdekaan pikiran, nurani, dan hak beragama merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, seperti ketentuan Pasal 28I Ayat 1 UUD.
Terhadap hak yang terkait kebebasan beragama memang berlaku pembatasan. ICCRP menyatakan, kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan guna melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak mendasar dan kebebasan orang lain. Pembatasan senada diatur Pasal 28J Ayat 2 UUD. Pembatasan itu adalah terhadap tindakan sebagai pelaksanaan beragama, bukan keyakinan beragama, karena kebebasan atas keyakinan agama tidak dapat dibatasi oleh siapa pun.
Akan berulang?
SKB tentang Ahmadiyah berisi peringatan sebagai pelaksanaan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. SKB itu tidak dapat dimaknai sebagai pembubaran atau pembekuan, hanya peringatan karena aparat berwenang menilai JAI melanggar ketentuan UU di atas.
Menurut UU No 1/PNPS/1965, penyalahgunaan dan/atau penodaan adalah melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu, yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Pelanggaran terhadap larangan itu diancam pidana dan organisasinya dapat dibubarkan oleh Presiden. Ketentuan itu merupakan pembatasan terhadap hak atas kebebasan beragama yang dijamin UUD dan ICCPR.
Karena itu, persoalan yang harus dipecahkan adalah apakah pembatasan itu memenuhi kriteria sesuai Pasal 28J Ayat 2 UUD dan ICCPR? Apakah suatu aliran agama dapat dilarang dan dibubarkan karena memiliki penafsiran berbeda dengan aliran lain? Apakah keresahan sekelompok penganut agama dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan, suatu aliran agama telah mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum? Siapa yang berhak menilai suatu penafsiran atau kegiatan keagamaan telah menyimpang dari pokok ajaran agama itu? Dapatkah Presiden membatasi, melarang, dan membubarkan, padahal dalam proses itu harus dilakukan pembuktian pelanggaran yang dilakukan?
Kekerasan dan perpecahan terkait kasus Ahmadiyah dan semacamnya akan berulang di masa depan jika berbagai pertanyaan itu belum terjawab. Maka, langkah hukum yang tepat adalah meninjau konstitusionalitas (bertentangan dengan UUD atau tidak) UU No 1/PNPS/1965 sehingga ada pedoman sesuai norma konstitusi dalam menyikapi perbedaan.
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

1 Comment:

  1. Aulia said...
    LIKE THIS!!

    salam...
    saya aulia mahasiswa fak. hukum unpad...
    saat ini saya sedang menyusun skripsi mengenai hak terpidana mati untuk menentukan sendiri cara eksekusinya...

    saya tertarik dengan pernyataan bapak bahwa :
    "Konvenan ECOSOC menegaskan perlunya standar pelaksanaan hukuman mati dengan meminimalisasi penderitaan terpidana"

    boleh saya tau ini sumbernya darimana ya?
    karena saya coba search di google tidak menemukan bahasan yang berkaitan dengan hal ini...

    saya agak kesulitan untuk mendapatkan sumber dan landasan serta dasar hukum yang menunjang bahasan saya tersebut...

    bilamana bapak dapat membantu saya memberi masukan...

    saya juga ingin mengetahui pendapat bapak mengenai :
    "Di sisi lain, dapat pula ditentukan bahwa terpidana mati memiliki hak untuk memilih cara pelaksanaan hukumannya"

    sebelumnya saya ucapkan terima kasih... :)

    semoga sukses selalu menyertai bapak...

Post a Comment