EKSEKUSI HUKUMAN MATI

Oleh: Muchamad Ali Safa’at

Setahun yang lalu, perdebatan konstitusionalitas hukuman mati mengemuka pada saat dilakukan pengujian ketentuan hukuman mati dalam UU Narkotika oleh MK. Hukuman mati terkait dengan hak hidup sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa hak untuk hidup adalah salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Salah satu isu konstitusi yang krusial adalah apakah non-derogable rights dalam Pasal 28I Ayat (1) tunduk pada pembatasan dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Perdebatan tersebut diakhiri dengan Putusan MK yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun MK dalam Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 tersebut juga menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu MK juga menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap segera dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pasca putusan tersebut, telah terdapat beberapa terpidana mati yang dieksekusi oleh regu tembak berdasarkan UU No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Beberapa bulan terakhir, media massa dengan gencar memberitakan pelaksanaan eksekusi beberapa terpidana mati antara lain Sumiyarsih dan Sugeng, Maulana Yusuf, serta Rio Martil.
Hukuman mati kembali akan memasuki perdebatan konstitusional terkait dengan pelaksanaannya, yaitu tata cara eksekusi hukuman mati. Hal itu terkait pengajuan permohonan pengujian UU No. 02/Pnps/1964 oleh terpidana mati kasus bom bali, Amrozi, melalui kuasanya dari Tim Pembela Muslim. Substansi yang diajukan permohonan adalah hukuman mati dengan cara ditembak sampai mati yang dipandang menimbulkan kerugian berupa nestapa fisik yang tidak perlu terjadi dalam proses menuju kematian. Hal itu didalilkan bertentangan dengan hak konstitusional untuk tidak disiksa yang dijamin dalam UUD 1945.
***
Hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang telah ada dan dipraktikkan, terutama sejak abad pertengahan, terhadap berbagai macam kejahatan. Terdapat beberapa cara pelaksanaan hukuman mati yang pernah diterapkan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sistem hukum yang dianut suatu negara. Cara pelaksanaan hukuman mati tersebut antara lain adalah salib, bakar, penggal, gantung, tembak, kamar gas, kursi listrik, dan injeksi. Hukuman mati dengan cara disalib merupakan cara pelaksanaan hukuman mati yang telah dikenal sejak masa sebelum Kristus hingga saat ini di beberapa negara.
Hukuman mati dengan cara dibakar pernah diterapkan terutama untuk kejahatan bid’ah, sihir, dan terhadap perempuan yang dipandang tidak bermoral. Cara pelaksanaan hukuman mati ini dinyatakan terlarang oleh Paus pada tahun 643. Namun demikian praktik pelaksanaan hukuman mati dengan cara dibakar baru berakhir pada tahun 1834.
Hukuman mati dengan dipenggal dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu yang dilakukan oleh algojo menggunakan kapak. Cara ini dilakukan pada abad ke-16 dan ke-17, terakhir kali digunakan pada tahun 1747 di Inggris. Cara lain adalah dengan menggunakan alat yang disebut dengan guillotine, yang diajukan oleh Dr. Joseph Guillotine untuk mengurangi penyiksaan. Alat itu untuk pertama kalinya digunakan pada 1789 di Perancis dan terakhir digunakan pada 1977 di negara yang sama.
Hukuman gantung merupakan cara yang paling umum dipakai dari berbagai cara yang ada. Terpidana mati digantung dengan seutas tali hingga meninggal karena lehernya patah. Suatu cara yang sederhana. Pada masa lalu, hukuman gantung juga diikuti dengan penyiksaan. Sebelum digantung, terpidana mati diseret, digores, bahkan bagian tubuhnya dipotong beramai-ramai. Hukuman gantung hingga saat ini masih dipraktikkan di beberapa negara, bahkan beberapa negara bagian Amerika Serikat.
Cara pelaksanaan hukuman mati selanjutnya adalah dengan ditembak hingga mati oleh satu regu tembak. Di beberapa negara, hanya sedikit senapan yang berisi peluru tajam, sedangkan senapan yang lain berisi peluru kosong, sehingga eksekutor sesungguhnya tidak diketahui. Beberapa pemimpin Jerman yang diputus hukuman mati oleh pengadilan Nuremberg dengan cara digantung meminta dihukum mati oleh regu tembak karena dianggap lebih bermartabat.
Hukuman mati juga dapat dilakukan dengan cara memasukkan terpidana ke dalam kamar gas. Ke dalam kamar tersebut dialirkan asam hydrochloric, dan beberapa saat kemudian ditambahkan potasium sianida atau sodium sianida yang menghasilkan gas hidrosianik. Gas inilah yang merusak kemampuan hemoglobin darah dan terpidana akan segera tidak sadar jika bernafas dalam-dalam. Namun jika terpidana menahan nafas akan menimbulkan reaksi yang liar, dan kematian baru akan terjadi antara sepuluh hingga delapan belas menit. Eksekusi dengan kamar gas dilakukan pertama kali pada 1924 di Amerika Serikat yang hingga saat ini masih digunakan di beberapa negara bagian.
Metode pelaksanaan hukuman mati yang dapat dikatakan sebagai temua era modern adalah kursi listrik dan injeksi. Kursi listrik menjadi penghantar arus listrik dengan terpidana melalui elektroda yang dirancang khusus. Biasanya eksekusi dilakukan oleh tiga orang yang menekan tombol namun hanya satu di antaranya yang terhubung dengan sumber listrik. Arus yang digunakan disesuaikan dengan berat tubuh terpidana. Hukuman dengan kursi listrik mengakibatkan kerusakan tubuh terpidana dan organ internal terbakar.
Cara pelaksanaan hukuman mati selanjutnya adalah injeksi yang mematikan, yaitu dengan menyuntikkan beberapa macam zat mulai dari yang menghilangkan kesadaran hingga yang mematikan. Zat pertama yang disuntikkan adalah Sodium Thiopental yang mengakibatkan terpidana tertidur pulas. Selanjutnya adalah injeksi Pancuronium Bromide yang merelaksasi otot hingga pernafasan diafragma dan paru-paru berhenti. Zat terakhir yang disuntikkan adalah Potassium Chlorida yang menghentikan kerja jantung.
***
Eksekusi hukuman mati mengalami pergeseran dari yang sifatnya disertai dengan maksud penyiksaan menuju pada cara yang dipandang lebih manusia tanpa melibatkan unsur penyiksaan. Hal itu sesuai dengan perkembangan teori penghukuman yang telah meninggalkan konsep hukuman sebagai pembalasan. Konvenan ECOSOC menegaskan perlunya standar pelaksanaan hukuman mati dengan meminimalisasi penderitaan terpidana.
Terdapat beberapa kriteria cara pelaksanaan hukuman mati yang dipandang sesuai dengan ciri masyarakat beradab. Pertama, harus secepat dan sesederhana mungkin serta bebas dari hal-hal yang meningkatkan ketakutan dan penderitaan terpidana. Kedua, cara tersebut harus secepat mungkin menimbulkan ketidaksadaran terpidana dan secepat mungkin pula mengalami kematian. Ketiga, cara tersebut harus layak dan patut dalam masyarakat yang beradab. Keempat, harus dihindari perusakan anggota tubuh.
Bagi bangsa Indonesia, kriteria cara pelaksanaan hukuman mati tersebut tentu sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab serta jaminan bebas dari penyiksaan. Namun, untuk menentukan cara mana yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi tentu bukan hal yang mudah. Apakah hukuman mati oleh regu penembak bertentangan dengan konstitusi atau tidak, hakim konstitusi yang akan memutuskan. Di sisi lain, dapat pula ditentukan bahwa terpidana mati memiliki hak untuk memilih cara pelaksanaan hukumannya. (***)

0 Comments:

Post a Comment